Dulu menjelang pensiun, pertanyaan terasa triki dan sulit dijawab secara spontan adalah: Apa yang dikerjakan setelah pensiun?
Inginnya membuka warung kelontong, tapi tidak punya pengalaman berdagang. Maunya mengelola taman bacaan, sayangnya ukuran rumah  sak umprit. Bertani? Tak punya sawah dan tanah ladang.
Akhirnya  tetap bercita-cita menjadi juri dan praktisi di bidang literasi. Tapi siapa yang tertarik dan mau memakai tenaga tua yang mungkin sudah tidak sat set lagi?
Lalu, secara riil, apa sesungguhnya  yang (bisa) dilakukan setelah pensiun?
Demi terus menjaga kreativitas agar tidak tumpul, lalu mati, maka berkumpul dengan teman-teman di komunitas sastra menjadi langkah penting.Â
Dengan begitu, Â proses berkesenian tetap terpantik. Obrolan mengenai dunia kesenian, khususnya kesastraan terus berlangsung. Relasi tetap terjalin mesra.
Soal pengembangan imajinasi?
Persoalan ini lebih berurusan dengan dunia penciptaan, dalam bidang apa pun pilihannya. Â
Karena dulu saya terbiasa dengan pekerjaan menyusun proposal, menulis laporan peneltian, makalah seminar, Â esai jurnal ilmiah, artikel populer, maka saya memilih tetap setia melakoni pekerjaan sebagai penulis.
Bagi saya, modal seorang penulis setidaknya memiliki daya imajinatif, mengembangkan imajinasi, dan daya  kreatif- menciptakan hal-hal baru- meskipun mungkin hanya berupa pekerjaan memodifikasi, mematutpadankan.