Menulis bukanlah hal sulit karena apa yang dipikirkan, dirasakan, dialami seseorang, bisa menjadi bahan (ide) untuk dituliskan. Meskipun begitu ada saja alasan orang yang tidak mampu menghasilkan tulisan.Â
Mereka  berdalih bahwa menulis merupakan bakat. Alasan lain,  menulis adalah seni, maka dari itu hanya orang-orang berdarah senilah yang mampu menulis.Â
Padahal siapa pun mempunyai kemampuan menulis asalkan  bersedia meningkatkan potensi diri. Jadi, urusan menulis bukan tergantung pada bakat, tapi kebersediaan diri membaca "teks kehidupan" (berbagai referensi), mengembangkan ide, daya kreatif, dan memperhatikan persoalan kebahasaan.Â
Setiap calon penulis sebaiknya selalu membuka EYD, KBBI, Tesaurus, untuk menghindari kesalahan-kesalahan dalam menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa tulis yang baik dan benar.
Proses Menulis
Proses menulis  selalu diawali dengan pertanyaan: permasalahan apa yang akan ditulis, apa tujuan yang ingin dicapai, bentuk tulisan apa yang dipilih, dan siapa segmentasi pembaca yang dituju.Â
Jika semua sudah ditetapkan, maka proses menulis  dapat dilakukan melalui  tahap persiapan (mencari ide),  pematangan (memperkaya ide dengan pembacaan  referensi atau diskusi),  penulisan (penguasaan terhadap unsur-unsur kebahasaan), dan  editing (pembacaan ulang secara kritis untuk memperbaiki kesalahan yang mungkin terjadi- baik berkenaan dengan aspek kebahasaan maupun gagasan/subject matter yang ingin disampaikan).
Jika masih gagap juga, maka  kegiatan menulis bisa dimulai dengan menerapkan "mantra" Adiksimba (apa, dimana, kapan, siapa, mengapa, dan bagaimana).
Saat diberi kesempatan menulis satu paragraf dalam lima menit, ternyata emak-emak peserta diklat mampu menghasilkan tulisan yang cukup mengesankan, baik dari sisi ide maupun cara mengungkapkannya. Â
Tulisan "Anak dari Surga" (Piping), "Menghadapi Musibah" (Widyawati), "Surga yang Dirindukan" (Niswatun Muniroh), "Sisa Usia dalam Kerinduan" (Andra Ratna), dan "Kehidupan" (Anita); berkisah mengenai perjuangan hidup yang tidak baik-baik saja.Â
Piping berkisah bagaimana tamparan hidup menghampirinya dengan lima kali kehilangan anak. Kesedihan itu dilupakan dengan menulis buku harian. Widyawati mengalami tragedi kehilangan suami dan kedua orang tua secara bersamaan karena kecelakaan.Â