Menyaksikan emak-emak antre sembako murah, mengantar balita ke Posyandu, atau menyaksikan beberapa ibu muda ngumpul ngopi sambil arisan, ngegosip di kafe, rasanya merupakan hal yang begitu biasa, sangat lumrah.
Berbeda  dengan pemandangan di  Kafe Cerita Kita Kopi (15/12/2024), kampung Jomblangan, Yogyakarta, satu per satu emak-emak berdatangan. Bukan untuk ngopi,  arisan, apalagi ngerumpi,  tetapi mereka ingin  belajar menulis, mengembangkan kreativitas.
Tiga puluh orang emak-emak ingin menulis? Ah, jangan-jangan ini sekadar gosip, isu, atau mencari sensasi di tengah hangatnya berita tentang anak bos roti yang hobi melempar kursi,  penganiayaan oleh sopir pribadi demi perubahan jadwal piket jaga dokter koas, penolakan MA atas  permohonan PK yang diajukan oleh tujuh terpidana seumur hidup dalam kasus Vina...
Tapi ternyata emak-emak yang berkumpul di Kafe Cerita Kita Kopi pagi itu memang  benar-benar ingin belajar menulis. Setidaknya dibuktikan dengan bentangan spanduk di sisi kanan pintu masuk kafe: Diklat Menulis Memetik Hikmah di Balik Kisah.
"Diklat menulis ini sengaja kami pilih dengan keinginan  mengaktualisasikan potensi diri dalam menggali life skill di bidang kreativitas menulis. Di samping  turut memberi kado bagi para single parent, aktivis, dan para ibu yang tidak kenal lelah dalam berjuang," jelas Ana Mawar, ketua Komunitas Omah Kayu.
Diharapkan kegiatan  ini menjadi langkah pertama dalam mewujudkan buku antologi berisi berbagai hikmah  di balik kisah emak-emak. Tentu banyak pengalaman  yang bisa dibagikan agar dapat memotivasi dan menginspirasi masyarakat luas sebagai pembaca.
Kegiatan diawali dengan sharing experience bersama Sri Yatmi (Sukaharjo, penulis buku), Ratna Kushardjanti (Yogyakarta, penulis novel), dan  Siti Khofsuh M (Magelang, motivator). Mereka berbagi pengalaman mengenai proses kreatif menulis dan strategi meningkatkan potensi serta kepercayaan diri.
"Menulis bukanlah pekerjaan yang terlalu sulit. Masalahnya, selama ini pekerjaan menulis hanya berhenti di pikiran,  berupa keinginan, sekadar cita-cita. Belum diwujudkan menjadi sebuah tindakan atau action nyata. Hari ini saya akan mengajak  semua peserta  memasuki dunia empiris  menulis," ujar Herry saat memulai diklat menulis.
Menulis bukanlah hal sulit karena apa yang dipikirkan, dirasakan, dialami seseorang, bisa menjadi bahan (ide) untuk dituliskan. Meskipun begitu ada saja alasan orang yang tidak mampu menghasilkan tulisan.Â
Mereka  berdalih bahwa menulis merupakan bakat. Alasan lain,  menulis adalah seni, maka dari itu hanya orang-orang berdarah senilah yang mampu menulis.Â
Padahal siapa pun mempunyai kemampuan menulis asalkan  bersedia meningkatkan potensi diri. Jadi, urusan menulis bukan tergantung pada bakat, tapi kebersediaan diri membaca "teks kehidupan" (berbagai referensi), mengembangkan ide, daya kreatif, dan memperhatikan persoalan kebahasaan.Â
Setiap calon penulis sebaiknya selalu membuka EYD, KBBI, Tesaurus, untuk menghindari kesalahan-kesalahan dalam menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa tulis yang baik dan benar.
Proses Menulis
Proses menulis  selalu diawali dengan pertanyaan: permasalahan apa yang akan ditulis, apa tujuan yang ingin dicapai, bentuk tulisan apa yang dipilih, dan siapa segmentasi pembaca yang dituju.Â
Jika semua sudah ditetapkan, maka proses menulis  dapat dilakukan melalui  tahap persiapan (mencari ide),  pematangan (memperkaya ide dengan pembacaan  referensi atau diskusi),  penulisan (penguasaan terhadap unsur-unsur kebahasaan), dan  editing (pembacaan ulang secara kritis untuk memperbaiki kesalahan yang mungkin terjadi- baik berkenaan dengan aspek kebahasaan maupun gagasan/subject matter yang ingin disampaikan).
Jika masih gagap juga, maka  kegiatan menulis bisa dimulai dengan menerapkan "mantra" Adiksimba (apa, dimana, kapan, siapa, mengapa, dan bagaimana).
Saat diberi kesempatan menulis satu paragraf dalam lima menit, ternyata emak-emak peserta diklat mampu menghasilkan tulisan yang cukup mengesankan, baik dari sisi ide maupun cara mengungkapkannya. Â
Tulisan "Anak dari Surga" (Piping), "Menghadapi Musibah" (Widyawati), "Surga yang Dirindukan" (Niswatun Muniroh), "Sisa Usia dalam Kerinduan" (Andra Ratna), dan "Kehidupan" (Anita); berkisah mengenai perjuangan hidup yang tidak baik-baik saja.Â
Piping berkisah bagaimana tamparan hidup menghampirinya dengan lima kali kehilangan anak. Kesedihan itu dilupakan dengan menulis buku harian. Widyawati mengalami tragedi kehilangan suami dan kedua orang tua secara bersamaan karena kecelakaan.Â
Nuswatun menuturkan bagaimana menjadi single mom selama lebih dari tujuh tahun, bagaimana ia ditinggalkan suami dan juga anak laki-lakinya yang kemudian lebih memilih ayahnya.
Kisah-kisah tersebut tentu saja bisa dikembangkan agar memberikan inspirasi, pelajaran hidup, dan meningkatkan empati pembaca terhadap perjuangan single parent.
Agar kisah menarik, maka penulis dituntut bercerita jujur, transparan, fokus memberi inspirasi  dan motivasi bagi pembaca. Selain itu, memilih judul yang menarik dan berkisah menggunakan bahasa yang sederhana, mudah dipahami.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI