Saat duduk di sekolah dasar dan ditanya apa cita-cita setelah besar nanti, pasti anak-anak, termasuk sebagian besar dari kita (tak usah malu-malulah mengakui), spontan menjawab ingin menjadi dokter, pilot, dan polisi. Dalam angan mereka (dan kita), menjadi dokter sangat menyenangkan, menyuntik orang sakit lalu sembuh. Pilot naik pesawat kemana-mana sambil mengantarkan orang berpergian. Polisi terlihat gagah di balik seragam mereka, bangga bisa menangkap penjahat.
Tidak pernah sekalipun anak-anak menjawab ingin jadi peneliti. Karena tidak terpikirkan di angan-angan mereka: peneliti itu apa, kerjanya bagaimana.Â
Bahkan sosok peneliti tak tergapai, tidak terbayangkan, terlebih terdefinisikan. Kalah dengan cita-cita absurd sekalipun, misalnya, ingin jadi Superman biar bisa terbang sesuka hati.
Saat SMP saya beranggapan kerja peneliti seperti petugas sensus, melakukan pendataan, pencatatan. Atau serupa wartawan, melakukan wawancara dan hasilnya dituliskan.
Duduk di bangku SMA, saya mengambil jurusan ilmu pasti agar bisa kuliah di Fakultas Biologi. Tapi cita-cita itu kandas karena dendam terhadap guru bahasa Indonesia yang memberikan nilai pelajaran Bahasa Indonesia di rapor jauh dari prediksi.Â
Demi membuktikan bahwa saya mampu berbahasa Indonesia, dan nilai dari guru tidak beralasan, maka akhirnya kuliah di Fakultas Sastra (awal tahun 1980-an) dengan pengalihan cita-cita dari ahli biologi menjadi penulis atau jurnalis.
Saat kuliah semester empat, diminta membantu dosen menyambangi kios-kios penyewaan majalah dan komik yang saat itu menjamur di Yogyakarta.Â
Kios-kios kecil tersebut biasanya nyempil di antara deretan kios-kios lainnya, menyewakan berbagai komik (Si Buta dari Gua Hantu, Donald Bebek, Gundala, Godam, Tintin); majalah, cerita silat Kho Ping Hoo, Api di Bukit Menoreh, Nagasasra Sabuk Inten, dan lainnya.Â
Kios penyewaan mewajibkan penyewa memiliki kartu anggota. Di kartu tercatat tanggal kapan harus kembali dan biaya penyewaan. Penyewa diminta meninggalkan identitas (kartu mahasiswa) atau uang jaminan.
Bu Dosen menugasi saya menyewa dan mencatat novelet-novelet yang ada di kios-kios penyewaan. Beberapa novelet sebagai sisipan majalah Kartini dan Femina saya dapatkan.Â
Termasuk beberapa novelet yang diterbitkan. Novelet yang diperoleh antara lain karya Niken Pratiwi, Marga T, Agnes Yani Sardjono, Mira W, Montinggo Busye, dan Remy Silado. Novelet sewaan itu lalu difoto kopi.
"Novelet-novelet itu akan dijadikan data penelitian mengenai feminisme dalam karya sastra," ujar Bu Dosen.
Sampai akhir tahun 1980-an mencari data tidaklah semudah sekarang. Dulu, menulis skripsi, makalah ilmiah, harus datang ke perpustakaan, membaca satu per satu referensi yang diperlukan.Â
Jika data berkaitan dengan koran/majalah, maka mau tidak mau harus membuka-buka koran/majalah-di Yogyakarta ada Jogja Library Center (JLC) perpustakaan khusus berisi koleksi koran dan majalah dari tahun 1945.
JLC menempati gedung dua lantai bekas NV Boekhandel en Drukkerij Kolff-Buning, toko buku dan percetakan Kolff-Buning - perusahaan swasta Belanda yang bergerak di bisnis penerbitan, percetakan dan penjualan buku- buku berbahasa Indonesia/Melayu, Belanda, serta Jawa, terletak di ujung utara Jalan Malioboro.
Penulis ternama yang karyanya pernah diterbitkan Kolff-Buning, antara lain Raden Ngabei Ranggawarsita, Theodore G Th Pigeaud, dan Stutterheim. Kolff-Buning menerbitkan majalah Ratoe Timoer dan Poestaka Timoer.
Jadi saya tidak heran kalau Bu Dosen meminta saya mendatangi (istilah kerennya survei) ke kios-kios persewaan komik/majalah untuk mencari data (inventarisasi) karena beliau tidak memiliki waktu dan tenaganya terbatas kalau harus mendatangi satu per satu kios-kios penyewaan komik/majalah.
Tidak seperti sekarang, saat internet kian merebak, dunia berada dalam genggaman tangan. Mau mencari data apa pun tinggal klik sana klik sini bertanya kepada Mbah Google sambil duduk manis di kafe menikmati hangatnya kopi dan pisang goreng keju.
Lulus dari Fakultas Sastra, saya mengemasi barang-barang, niat berangkat mendosen di Jawa Timur. Bersamaan dengan itu datang permintaan mengikuti seleksi tes menjadi PNS di sebuah kantor pemerintah yang mengurusi soal bahasa dan sastra di Yogyakarta.Â
Akhirnya setelah nasib berada di ujung tanduk, saya lolos seleksi menjadi PNS. Semula saya tidak menyadari kalau kantor itu merupakan kantor pusat yang berada di daerah dan bergerak di bidang penelitian.Â
Sesuatu yang melekat di pikiran, kantor itu berurusan dengan pembinaan, pemasyarakatan, dan penyusunan kamus. Setidaknya saya akan bekerja sebagai penyuluh kebahasaan/kesastraan, ikut menyusun kamus.
Setelah masuk kerja barulah saya menyadari kalau pegawainya terbagi dua: tenaga administrasi dan tenaga fungsional peneliti.
Dua atau tiga tahun setelah bekerja, teman-teman kepegawaianlah yang kemudian meminta agar saya segera mengumpulkan berkas pengajuan usulan jabatan fungsional (peneliti).Â
Untungnya sejak kuliah semester tiga, saya rajin menulis di koran, majalah, mengikuti berbagai seminar/diskusi di lingkungan kampus. Artinya, pengajuan angka kredit bukanlah masalah besar.
Tahun 1995 menduduki jabatan Asisten Peneliti Madya dan tiga tahun kemudian (1998) menjadi Ajun Peneliti Madya. Tugas dalam penelitian tim (sebagai anggota), mengumpulkan data penelitian. Tahun 2002 diangkat sebagai Peneliti Muda, selain mencari data juga mulai membantu membuat proposal yang dikerjakan oleh ketua tim.
Dipercaya menduduki jabatan Peneliti Madya mulai tahun 2007 dengan tugas utama merancang, melakukan, dan melaporkan hasil penelitian.Â
Tentu prosesnya tidak sederhana karena harus mengajukan proposal untuk penilaian kelayakan penelitian, terjun ke lapangan, presentasi hasil kerja, dan penyusunan laporan.
Dalam satu tahun ada tiga pekerjaan besar yang harus dilakukan: terlibat dalam penelitian tim, melaksanakan penelitian mandiri, dan membuat makalah ilmiah untuk dipresentasikan dan dimuat dalam jurnal terakreditasi.Â
Artinya setiap tahun harus menyusun proposal penelitian, menentukan objek penelitian, menjelaskan latar belakang, hipotesis, rumusan masalah, metode, teori, analisis, dan simpulan.Â
Belum lagi tugas tambahan sebagai penyuluh, mengelola jurnal, dan tugas-tugas struktural yang tak kalah ribet. Sebagai peneliti, wajib mengumpulkan angka kredit untuk kenaikan pangkat fungsional dan ini bukanlah pekerjaan mudah.
Jika tidak mengurus kenaikan pangkat fungsional, bisa-bisa tunjangan fungsional dihentikan. Ada juga kasus peneliti harus mengembalikan tunjangan fungsional yang sudah diterima.
Pengalaman paling berkesan saat menjadi peneliti ketika diminta terlibat dalam proyek penyusunan Handbook of Javanese Literature, kerja sama Indonesia Belanda. Gagasan tersebut muncul dari Prof Dr Bernard Arps, diusulkan masuk ke dalam rencana kerja Panitia Kerjasama Budaya Indonesia-Belanda.
Prof Edi Sedyawati, ketika itu menjabat sebagai Direktur Jenderal Kebudayaan, membentuk tim kerja dari pihak Indonesia, yaitu Dr Kuntara Wiryamartana sebagai chief editor berpartner dengan Prof Dr Bernard Arps, kemudian Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa sebagai fasilitator. Sehari-hari koordinasi administrasi diserahkan kepada Dr Sri Sukesi Adiwimarta.
Ternyata pihak Indonesia dapat bersiap lebih cepat (secara administratif) dibandingkan pihak Belanda, sehingga disusunlah tim redaksi perancang dan penyunting isi buku itu, yang oleh Kepala Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Dr Hasan Alwi, diberi nama "Buku Pintar Sastra Jawa". Tim redaksi tersebut terdiri dari: Dr Kuntara Wiryamartana, Prof Dr Edi Sedyawati, Prof Dr Sapardi Djoko Damono, dan Dr Sri Sukesi Adiwimarta.
Dalam pengadaan teks dilakukan lokakarya dan penyelarasan. Setahun sekali para penyusun diundang ke Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (Rawamangun) atau Cisarua, Bogor, untuk mempresentasikan kertas kerja yang mereka susun.Â
Program penyusunan "Buku Pintar Sastra Jawa" ini dimulai pada tahun 1995. Dalam kesempatan lokakarya, para penulis dan peneliti, berdiskusi dan (diam-diam) mendapatkan penilaian dari tim redaksi. Jika tidak lolos penilaian, maka tahun depannya pasti tidak akan dilibatkan lagi.
Jadi ada kalanya sebuah makalah atau hasil penelitian, akhirnya tidak dimunculkan, atau bahkan terjadi penggantian penulis.
Hal paling menyenangkan dalam proyek penyusunan "Buku Pintar Sastra Jawa" adalah bertemu dengan berbagai pihak dari disiplin ilmu berbeda, tidak hanya para ahli dalam sastra Jawa.Â
Di samping Edi Sedyawati, Romo Kuntara Wiryamartana, Sapardi Djoko Damono ada pula Prof Dr Suripan Sadi Hutomo, Prof Dr James Dananjaya (ahli foklor Indonesia), Prof Siti Chamamah Soeratno (filolog), Prof Dr H. Simuh (kajian Islam dan tasawuf), Prof Dr Suminto A Sayuti, Dr Ayu Sutarto (pengkaji cerita rakyat/tradisi lisan), Mohammad Damami (sastra pesisir/pesantren), Teguh Dewabrata, dan Ninie Susanti Yulianto (arkeolog).
Alhamdulillah saya selalu lolos dalam penilaian dan mengikuti proyek tersebut sampai selesai selama lima tahun. Bukan karena kepandaian, tetapi lebih kepada kepribadian yang low profile.
"Penilaian tidak sekadar bertumpu pada intelektual, tetapi juga menyangkut attitude, etika. Kalau intelektualnya bagus, tapi etikanya tidak menunjukan sebagai intelektual, ya apa gunanya," ujar Sapardi usai rapat tertutup bersama Edi Sedyawati dan Romo Kuntara.
Ucapan Sapardi itu mengingatkan saya kepada salah seorang "Gus" yang gara-gara tak beretika, lalu menjadi viral dan dihujat para nitizen...(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H