Dalam pengadaan teks dilakukan lokakarya dan penyelarasan. Setahun sekali para penyusun diundang ke Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (Rawamangun) atau Cisarua, Bogor, untuk mempresentasikan kertas kerja yang mereka susun.Â
Program penyusunan "Buku Pintar Sastra Jawa" ini dimulai pada tahun 1995. Dalam kesempatan lokakarya, para penulis dan peneliti, berdiskusi dan (diam-diam) mendapatkan penilaian dari tim redaksi. Jika tidak lolos penilaian, maka tahun depannya pasti tidak akan dilibatkan lagi.
Jadi ada kalanya sebuah makalah atau hasil penelitian, akhirnya tidak dimunculkan, atau bahkan terjadi penggantian penulis.
Hal paling menyenangkan dalam proyek penyusunan "Buku Pintar Sastra Jawa" adalah bertemu dengan berbagai pihak dari disiplin ilmu berbeda, tidak hanya para ahli dalam sastra Jawa.Â
Di samping Edi Sedyawati, Romo Kuntara Wiryamartana, Sapardi Djoko Damono ada pula Prof Dr Suripan Sadi Hutomo, Prof Dr James Dananjaya (ahli foklor Indonesia), Prof Siti Chamamah Soeratno (filolog), Prof Dr H. Simuh (kajian Islam dan tasawuf), Prof Dr Suminto A Sayuti, Dr Ayu Sutarto (pengkaji cerita rakyat/tradisi lisan), Mohammad Damami (sastra pesisir/pesantren), Teguh Dewabrata, dan Ninie Susanti Yulianto (arkeolog).
Alhamdulillah saya selalu lolos dalam penilaian dan mengikuti proyek tersebut sampai selesai selama lima tahun. Bukan karena kepandaian, tetapi lebih kepada kepribadian yang low profile.
"Penilaian tidak sekadar bertumpu pada intelektual, tetapi juga menyangkut attitude, etika. Kalau intelektualnya bagus, tapi etikanya tidak menunjukan sebagai intelektual, ya apa gunanya," ujar Sapardi usai rapat tertutup bersama Edi Sedyawati dan Romo Kuntara.
Ucapan Sapardi itu mengingatkan saya kepada salah seorang "Gus" yang gara-gara tak beretika, lalu menjadi viral dan dihujat para nitizen...(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H