Untungnya sejak kuliah semester tiga, saya rajin menulis di koran, majalah, mengikuti berbagai seminar/diskusi di lingkungan kampus. Artinya, pengajuan angka kredit bukanlah masalah besar.
Tahun 1995 menduduki jabatan Asisten Peneliti Madya dan tiga tahun kemudian (1998) menjadi Ajun Peneliti Madya. Tugas dalam penelitian tim (sebagai anggota), mengumpulkan data penelitian. Tahun 2002 diangkat sebagai Peneliti Muda, selain mencari data juga mulai membantu membuat proposal yang dikerjakan oleh ketua tim.
Dipercaya menduduki jabatan Peneliti Madya mulai tahun 2007 dengan tugas utama merancang, melakukan, dan melaporkan hasil penelitian.Â
Tentu prosesnya tidak sederhana karena harus mengajukan proposal untuk penilaian kelayakan penelitian, terjun ke lapangan, presentasi hasil kerja, dan penyusunan laporan.
Dalam satu tahun ada tiga pekerjaan besar yang harus dilakukan: terlibat dalam penelitian tim, melaksanakan penelitian mandiri, dan membuat makalah ilmiah untuk dipresentasikan dan dimuat dalam jurnal terakreditasi.Â
Artinya setiap tahun harus menyusun proposal penelitian, menentukan objek penelitian, menjelaskan latar belakang, hipotesis, rumusan masalah, metode, teori, analisis, dan simpulan.Â
Belum lagi tugas tambahan sebagai penyuluh, mengelola jurnal, dan tugas-tugas struktural yang tak kalah ribet. Sebagai peneliti, wajib mengumpulkan angka kredit untuk kenaikan pangkat fungsional dan ini bukanlah pekerjaan mudah.
Jika tidak mengurus kenaikan pangkat fungsional, bisa-bisa tunjangan fungsional dihentikan. Ada juga kasus peneliti harus mengembalikan tunjangan fungsional yang sudah diterima.
Pengalaman paling berkesan saat menjadi peneliti ketika diminta terlibat dalam proyek penyusunan Handbook of Javanese Literature, kerja sama Indonesia Belanda. Gagasan tersebut muncul dari Prof Dr Bernard Arps, diusulkan masuk ke dalam rencana kerja Panitia Kerjasama Budaya Indonesia-Belanda.
Prof Edi Sedyawati, ketika itu menjabat sebagai Direktur Jenderal Kebudayaan, membentuk tim kerja dari pihak Indonesia, yaitu Dr Kuntara Wiryamartana sebagai chief editor berpartner dengan Prof Dr Bernard Arps, kemudian Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa sebagai fasilitator. Sehari-hari koordinasi administrasi diserahkan kepada Dr Sri Sukesi Adiwimarta.
Ternyata pihak Indonesia dapat bersiap lebih cepat (secara administratif) dibandingkan pihak Belanda, sehingga disusunlah tim redaksi perancang dan penyunting isi buku itu, yang oleh Kepala Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Dr Hasan Alwi, diberi nama "Buku Pintar Sastra Jawa". Tim redaksi tersebut terdiri dari: Dr Kuntara Wiryamartana, Prof Dr Edi Sedyawati, Prof Dr Sapardi Djoko Damono, dan Dr Sri Sukesi Adiwimarta.