Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Seni Artikel Utama

Krishna Mihardja: Ulang-Alik Sastra sampai Nyawaku Kembali Lagi

5 Desember 2024   10:30 Diperbarui: 5 Desember 2024   15:10 568
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Krishna Mihardja (kiri depan) sastrawan serba bisa/Foto: Hermard

Saat bertemu Mas Warno, mungkin ia menyindir kalau saya tidak akan pernah menjadi penyair. Ternyata benar juga, hingga saat ini saya tidak merasa menjadi penyair, meski saya terus berusaha belajar menulis puisi, dan menulis apa pun.

Kapan mulai tertarik kepada sastra Jawa?

Pada fase berikutnya, awal tahun 1980-an, saya menemukan majalah berbahasa Jawa, Djaka Lodhang. Kemudian saya mencoba mengeksplore diri belajar menulis dalam bahasa Jawa.

Dan sudah bisa ditebak , menulis dengan media bahasa Jawa tidak semudah anggapan orang yang memandang sebelah mata tulisan bahasa Jawa (bukan aksara Jawa) saat itu. Tulisan berbahasa Jawa dianggap sebagai tulisan kelas dua. Begitu juga dengan keberadaan sastra Jawa. 

Meskipun pada awalnya menulis geguritan (puisi berbahasa Jawa), tetapi sebenarnya tulisan berbahasa Jawa saya pertama kali termuat dalam rubrik "Pengalamanku", memuat semacam cerita lelucon. Itu pun, mungkin, dengan kerja keras redaktur yang harus membenahi ejaan, kalimat, karena bahasa Jawa saya benar-benar acak-kadul.

Bagaimana proses kreatif penulisan puisi?

Proses kreatif menulis puisi, tentu saja seperti halnya "anak muda" pada umumnya, yaitu menulis catatan harian dan lain-lain yang "dipuisi-puisikan". Tetapi belajar menulis puisi secara serius, diawali dengan "cerita-cerita pating slurup".

Muncul anggapan bahwa menulis puisi itu keren (nggleleng). Tentu saja sebagai anak muda, saya juga kepingin keren. Mulailah saya membaca-baca buku puisi di perpustakaan.

Itulah sebabnya ketika teman-teman membawa buku tebal Calculus atau Statistik, saya justru membawa buku-buku "aneh" berupa kumpulan puisi. 

Artinya, keinginan pertama menulis puisi itu dikarenakan biar keren, biar suatu ketika nama saya bisa nampang di koran! Ketika pertama kali puisi saya dimuat, maka spontan saya berguling-guling begitu senang di lapangan badminton depan rumah. Hingga saat ini pun bau koran Masa Kini masih terasa kalau mengenang peristiwa di lapangan badminton.

Kapan mulai terlibat dalam komunitas sastra?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun