Pemakaian kata-kata pisuhan, umpatan  khas masyarakat Jawa, khususnya Yogyakarta, terasa disengaja karena lakon BOT menggambarkan kehidupan masyarakat marginal, melarat, miskin, yang spontan dan tidak lagi mempertimbangkan konsep alus-kasar, unggah-ungguh. Â
Masyarakat kelas bawah yang termaginalisasikan lebih dekat dengan bahasa dan ungkapan-ungkapan yang kasar, jorok, dan ceplas-ceplos. Umar Kayam (1998) melontarkan gagasan bahwa dalam lakon-lakon berbahasa Jawa yang mengangkat tema kehidupan melarat dan miskin kaum tingkat paling bawah dari masyarakat Jawa, pilihan bahasa Jawa ngoko sebagai bahasa lakon adalah yang paling tepat dan jitu.Â
Masyarakat dalam kelas bawah memang tidak pernah merasa terikat untuk tunduk dalam kaidah halus-kasar, sehingga wajar jika di sela-sela dialog muncul kata-kata makian, pisuhan yang vulgar.
Tarik ulur antara persoalan kemiskinan-kejahatan-pencerahan (diwakili tokoh Praba-dimainkan Agus Suprihono) berhasil memukau penonton selama hampir dua jam. Pementasan antara lain didukung oleh Eko Winardi, Cicit Kaswami, Agus Suprihono, Ami Simatupang, Lisa Sulistyowati, Yuli Purwati, Margono Wedyapranaswara, dan Ningsih Maharani. Penata iringan dipercayakan kepada Otok Bima Sidharta dan Eko Jebret.
Hangatnya sambutan penonton BOT yang terdiri dari generasi sepuh dan generasi muda, bukan saja disebabkan oleh  kedekatan bahasa yang mereka kenali (bahasa Jawa ngoko), melainkan karena tontonan malam itu seakan-akan mewakili kehidupan mereka yang semakin terpinggirkan. Pun juga karena lemparan kritik sosial yang dibumbui guyonan parikena  terasa dalam dan mengena dengan situasi sosial politik belakangan ini. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H