"Menceritakan soal Hasmi, bagi saya sangat bersejarah. Saya main teater pertama kali ketika SMP di festival teater antar-kring yang bikin Mas Landung dan kawan-kawan Teater Stemka di Ngadiwinatan. Dan salah satu panitianya adalah Mas Hasmi. Ia merupakan saksi mata pertama kalinya saya main teater," kenang Butet.
Pimpinan Teater Gandrik itu mengenal nama Hasmi karena ia merupakan pandemen komik. Selalu terhibur dengan cerita Gundala.
Pertemuan semakin intensif ketika  LP3Y mengadakan workshop penulisan skenario dengan tema kewartawanan,  kemudian Butet dan Hasmi asyik ngobrol tentang penulisan cerita.
"Mas Hasmi pernah bermain bersama saya di Teater Gandrik tahun 2013. Bahkan Gandrik pernah memainkan  lakon Gundala Gawat yang ditulis Mas Goenawan Mohamad, semula menggunakan bahasa Jawa. Menceritakan pengarang Gundala sudah meninggal. Saya memberitahu Mas Goenawan bahwa Hasmi masih hidup. Mas Goenawan terkejut, lalu meminta Hasmi main. Naskah dikonstruksi, dan kami intensif latihan untuk main di beberapa kota bersama Hasmi," ungkap Butet.
BOT, Kemiskinan, dan Kritik Sosial
Naskah BOT sejatinya bercerita mengenai nasib wong cilik yang didera kemiskinan. Pilihan Cicit Kaswami (selaku penulis naskah dan sutradara) mengedepankan dunia begal, rumah bordil, para penjudi, ledhek, berkorelasi dengan masa lalunya yang kelam, hidup dalam kelaparan-terutama saat masih kanak-kanak bersama adiknya, Hasmi.
Meskipun kemiskinan sering disebut sebagai faktor utama seseorang menjadi begal, tetapi tidak semua  begal berasal dari latar belakang kemiskinan. Beberapa melakukannya karena keserakahan, pengaruh kelompok, atau menganggap kriminalitas sebagai "jalan pintas" guna mendapatkan  uang tanpa kerja keras.
Dalam BOT, tokoh begal hadir karena kemiskinan. Begal Sukro dan Gundes, isterinya, hidup dalam keterbatasan ekonomi. Tidak ada pilihan lain kecuali menjadi begal: merampok, merampas milik orang lain dengan kekerasan. Hanya saja karena ia ora tegelan (tidak tegaan), mudah dikelabuhi korbannya, maka ia tetap saja setia dengan kemiskinannya sepanjang pementasan.
Dunia bordil dijalani Bu Pus dengan dua anak asuhnya,  Sayuk dan Lasem, karena faktor kemiskinan, tidak ada sumber penghasilan atau peluang kerja lain yang  didapatkan. Rumah bordil Bu Pus mulai dijauhi pelanggan sejak covid 19 mendera, ditambah lagi Sayuk dan Lasem memasuki usia tua, tidak ada lagi pelanggan yang berminat.Â
Ketika Bedor, pelanggan, datang ingin memakai Sayuk, ia pun berharap  dapat membayar secara kredit. Situasinya berbeda dengan rumah bordil Bu Hadi dengan perempuan penghibur berusia muda dan memanfaatkan panggilan lewat handphone (bordil online), selalu ramai.Â