Menyadari situasi yang tidak menguntungkan itu, Bu Pus mengajak Sayuk dan Lasem bertobat, mengubah nasib menjadi tukang cuci pakaian dan buruh gendong pasar Beringharjo.
Cita-cita melakoni pekerjaan baru itu pun menggambarkan bahwa mereka tidak dapat beringsut dari lingkaran kemiskinan. Tetapi di sisi  lain, mereka menempuh jalan yang benar: bertobat dan ingin bekerja secara halal.
Dunia derita ditampilkan pula lewat tokoh-tokoh penjudi (Seng-Su) sebagai gambaran wong cilik yang mencari pelarian dari situasi stres dan tekanan hidup. Â Mereka berjudi sambil berteriak, mengumpat, bahkan berkelahi sebagai bentuk pelepasan emosi sebagai wong cilik.
Ledhek (tayub) melengkapi gambaran kemiskinan dalam BOT. Kesenian ledhek, terutama di daerah pedesaan Jawa, memiliki kaitan  erat dengan konteks sosial dan kemiskinan.
Ledhek sering ditampilkan dalam acara di lingkungan masyarakat agraris/petani karena merupakan  salah satu bentuk hiburan yang terjangkau,  biaya relatif murah dibandingkan bentuk hiburan lain.
Dalam beberapa pandangan, ledhek sering diidentikkan dengan strata wong cilik, Â pekerjaan yang kurang dihormati. Aktivitas ledhek diasosiasikan dengan kehidupan keras dan dekat dengan dunia hiburan yang dianggap negatif. Meskipun begitu, lirik lagu dan gerak tarian mencerminkan perjuangan, harapan, serta dinamika kehidupan masyarakat bawah.
Kritik sosial disampaikan melalui tokoh begal yang diperankan Eko Winardi dengan sangat baik. Pada adegan terakhir, ia mengganti pakaian dengan jas sambil nyeletuk bahwa jas lebih menindas.Â
Di samping itu mengkritik perubahan keadaan yang lebih memprihatinkan. Dulu bank plecit dianggap memeras teman sendiri, tetapi sekarang keberadaan pinjol lebih mengerikan dalam mencekik masyarakat, sehingga penyelenggara pinjaman online menghasilkan omzet milyaran rupiah.Â
Judi konvensional  kalah dengan judol karena judi online bisa membangun kekuasaan, sedangkan pemain judi kertu (konvensional) dari kalangan wong cilik terus dikejar-kejar polisi sebagai wakil penguasa.
Kritik lain yang cukup menyentil adalah ketika Bu Pus melontarkan pertanyaan, mengapa dalam dunia prostitusi, wanita  yang mendapat hukuman sosial, dicap sebagai sampah masyarakat? Mengapa lelaki hidung belang tidak mendapatkan sanksi? Apakah karena mereka yang mengeluarkan uang, mampu membayar?
Penampilan Paguyuban Kembang Adas dengan gaya sampakan mampu menghibur penonton. Celetukan pemain musik dari atas panggung yang merespon aksi dan dialog tokoh, Â memunculkan tawa berkepanjangan. Terutama saat terdengar lontaran kata-kata vulgar yang akrab dan mewakili kehidupan masyarakat bawah: asu, bajingan, kirik, prek, lonte, keple, dan ungkapan lainnya.Â