"Fungsi rumah untuk tempat istirahat dan berlindung. Bukan tempat menumpuk barang-barang seperti di rumah lama, menjadi susuh, dipenuhi barang-barang yang sesungguhnya tidak diperlukan. Toh bapak ibu sudah sepuh, jadi yang dipikirkan lokasinya saja yang strategis, kemana-mana dekat," saran anak nomor dua.
Dulu sejak kanak-kanak hingga kuliah, saya mengalami situasi yang kurang mengenakan karena tidak pernah mendapatkan pujian dari kedua orangtua.Â
Meskipun terpilih mewakili sekolah lomba baris-berbaris, deklamasi, mendapat beasiswa saat kuliah, menang lomba penulisan artikel, tulisan dimuat dalam media massa, tidak sekalipun mendapatkan pujian dari orangtua. Situasi menyedihkan semacam ini diam-diam saya simpan sendiri sebagai luka berkepanjangan.Â
Tentu saja saya tidak ingin memberikan luka yang sama kepada anak-anak. Pencapaian prestasi sekecil apapun, misalnya gambar dipuji guru, mendapatkan ranking kenaikan kelas, sampai mendapatkan pekerjaan dan promosi jabatan, pujian dalam bentuk sederhana, misalnya ucapan selamat atau makan bersama, pasti kami lakukan.
Komunikasi terbuka, tidak mengkritik secara serampangan, memberikan keteladanan, kepercayaan, membuka ruang diskusi bagi anak-anak, dan selalu berpegang kepada kearifan lokal sebagai pegangan hidup, saya dan Ibu Negara tiupkan terus dalam kehidupan anak-anak.Â
Syukur alhamdulillah sampai usia pernikahan kami mencapai tiga puluh tiga tahun, tepat tanggal 25 September 2024, kehidupan bersama anak-anak berjalan adem-ayem tanpa intrik seperti yang sering terjadi dalam banyak sinetron Indonesia.
Mungkin karena semua nrima ing pandum-merasa cukup atas pemberian Tuhan sehingga dapat hidup berkecukupan, mampu menempuh jalan ana sethithik dipangan sethithik yang merupakan bagian dari ajian mulur mungkret dalam menghadapi berbagai kesulitan hidup. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H