Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kebersamaan dalam Bingkai Kearifan Lokal

24 September 2024   14:18 Diperbarui: 26 September 2024   11:26 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saat mahasiswa, saya punya pacar yang didapatkan dengan penuh lika-liku. Persaingannya begitu ketat karena diperebutkan banyak mahasiswa Fakultas Sastra UGM, baik dari jurusan sastra Indonesia, arkeologi, antropologi, maupun sastra Inggris. Persaingan terjadi karena gadis yang ditaksir merupakan kembang kampus -cantik, perawakannya tinggi semampai- jago main voli pula...
Saya merasa besar kepala karena pada akhirnya memenangi persaingan penuh drama tersebut. 

Sayangnya malang tak dapat ditolak dan untung tidak bisa diraih. Setelah pacaran berjalan setahun dan kami mulai saling cocok, ternyata orang tua tidak menyetujui hubungan kami.

"Bagaimanapun, sebagai orang Jawa, kita harus mempertimbangkan bobot, bebet, dan bibit. Lagian adat-istiadatnya berbeda dengan kita," ujar ibunda tercinta kala itu.

Quality Time-Kompleks Masjid Kotagede/Foto: dokpri Hermard
Quality Time-Kompleks Masjid Kotagede/Foto: dokpri Hermard
Jika ada kata bijak yang menyatakan bahwa jodoh ada di tangan Tuhan, maka itulah yang saya alami dan percayai. Berjodoh dengan Ibu Negara Omah Ampiran (meskipun bukan kembang kampus) merupakan limpahan rahmat yang tak terkira hingga kami diberi momongan anak perempuan, lelaki, dan kembar. 

Kehadiran anak-anak inilah yang menyebabkan nama saya di kompleks perumahan Puri Margomulyo Asri, Sleman, naik kelas, "mendapat kehormatan", diganti menjadi Herry Sakti untuk membedakan dengan lima Herry lainnya.

Alasannya sudah sangat begitu jelas karena saya dianggap mempunyai "kesaktian", mampu mempunyai anak perempuan, laki-laki, dan anak kembar!

Membesarkan anak-anak bukanlah hal mudah. Diperlukan strategi agar tercipta hubungan kuat antara orangtua dan anak dalam konteks bonding yang efektif dan mendapatkan relasional timbal balik positif.

Sejak kanak-kanak, secara sederhana, mereka saya biasakan bekerja sama dalam mengurusi rumah: menyapu, membersihkan jendela kaca, menyirami tanaman, dan mencuci piring bergantian.

Ketika anak-anak beranjak dewasa, saya dan Ibu Negara Omah Ampiran mulai memberikan pengertian agar mereka bersikap baik kepada orang lain, migunani marang liyan. 

Hal ini berkaitan dengan falsafah hidup orang Jawa, sapa nandur bakalan ngunduh-siapa yang menanam dialah yang menuai. Jika kita menanam kebaikan, pasti akan menuai kebaikan pula, begitu juga sebaliknya.

Dalam menanam kebaikan itu jangan berharap akan mendapatkan imbalan yang setimpal. Kebaikan dilakukan dengan ikhlas agar menumbuhkan kebahagiaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun