"Menika sabin kula. Wiyaripun sewu meter. Sampun dinyang tigang milyar. Namung mboten kula sukakaken. Lha mangke artane namung telas mboten karuan. Napa malih sak menika pados sabin angel, sami dibangun griya kontrakan. Lare-lare enem mboten purun tani-Ini sawah saya. Luasnya seribu meter. Sudah ada yang mau membeli tiga milyar. Tapi saya tolak. Takut uangnya habis entah kemana. Lagi pula mencari sawah baru sekarang sulit karena tanah sawah sudah beralih fungsi sebagai lahan pembangunan rumah kontrakan. Generasi muda sudah tidak tertarik kerja di sawah," cerita Pak Mudji.
Dalam tulisan "Rezeki dan Cinta Kasih dalam Perburuan Perkutut", Iman Budhi Santosa mencatatkan bahwa sejak dulu, bagi masyarakat Jawa, burung perkutut dianggap sebagai burung "sakral", dapat memberikan berbagai isyarat atas peristiwa kosmis yang sulit dijangkau nalar.Â
Bagi kalangan tertentu, memelihara perkutut adalah dalam rangka lelaku spiritual, sehingga bukan hanya untuk klangenan, tetapi guna mengejar nilai-nilai magis.
Tidak mengherankan jika dalam masyarakat Jawa, kedudukan perkutut begitu istimewa, tidak tergeser oleh simbol-simbol peliharaan "kekinian": cucak rowo, poksay, hwa bie, bekisar, dan lovebird.
Jalan pagi ternyata bukan hanya bermanfaat untuk kesehatan fisik, tetapi juga berdampak pada kesejahteraan mental dan sosial.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI