Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bang Totok Keling: Ngeli ning Aja Nganti Keli

18 Agustus 2024   17:36 Diperbarui: 18 Agustus 2024   20:36 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dibuat pusing aksara Jawa/Foto: dokpri Hermard

Saya mengenal lelaki berbadan kurus itu sejak SMP (awal tahun tujuh puluhan) karena kami sama-sama menempuh pendidikan di sekolah swasta yang sama. Kedekatan kami karena ia benar-benar tidak bisa mengikuti pelajaran bahasa Jawa sebagai muatan lokal sekolah-sekolah di Yogyakarta pada waktu itu. 

Sebagai siswa lulusan sekolah dasar dari Sumatera, tentu saja pelajaran bahasa Jawa menjadi momok paling menakutkan. Terlebih kalau ada tugas menulis  aksara Jawa, atau siswa diminta maju satu per satu nembang Mijil, Maskumambang, Asmaradana, atau lainnya. 

Giliran Bang Totok maju, pasti teman-teman sekelas menahan tawa karena nembang-nya seperti menghafalkan lagu pop dengan nada pating blasur alias berantakan. Kami sekelas berasa mendapat suguhan dagelan Srimulat gratis. 

Dibuat pusing aksara Jawa/Foto: dokpri Hermard
Dibuat pusing aksara Jawa/Foto: dokpri Hermard
Setiap kertas hasil ulangan bahasa Jawa dibagikan Pak Sastro,  nilai yang didapatkan Bang Totok tak beringsut dari angka bebek (dapat nilai dua) dan paling tinggi kursi terbalik (alias nilai empat). Karena kasihan, saya mengajak anak nomor dua dari tiga bersaudara (lelaki semua) itu belajar bersama di tangsi Pingit. 

Orang tua saya kenal baik dengan eyangnya Bang Totok, pengusaha keseran (penyewaan gerobak) karena rumahnya tak jauh dari tangsi, di pinggir jalan Pangeran Diponegoro,  berjarak hanya satu kilometer dari tangsi. Jadilah kami bersahabat baik karena keluarga juga saling mengenal.

Tiga sekawan saat SMA/Foto: dokpri Hermard
Tiga sekawan saat SMA/Foto: dokpri Hermard
Saat masuk SMA, saya nyaris tidak mendapatkan sekolahan, untung Bang Totok mengajak saya mendaftar di sekolah tempat ia sudah diterima menjadi murid baru. Jadilah kami satu sekolahan di SMA swasta. 

Penampilan Bang Totok tetap bersahaja, meskipun ia anak orang berada. Ayahnya menduduki jabatan kepala  di salah satu kantor pelayanan umum,  di Kuala Tungkal, Jambi.

Keluarga Bang Totok di Malioboro/Foto: dokpri Hermard
Keluarga Bang Totok di Malioboro/Foto: dokpri Hermard
Tak heran jika keluarganya mampu membeli rumah dengan luasan tanah lebih dari setengah hektar di kampung Jetisharjo, Yogyakarta. Di atasnya berdiri rumah magrong-magrong sebagai rumah tinggal dan tempat kos. 

Kalau sekarang ada orang akan menelisik keberadaan kos-kosan tertua di kampung itu, maka tidak bisa dilepaskan dari rumah milik keluarga Bang Totok.

Tidak seperti siswa lainnya  yang berangkat ke sekolah naik sepeda motor, Bang Totok rela naik sepeda onthel. Padahal jarak dari rumah ke sekolah cukup jauh,  tidak kurang dari empat kilometer. 

Di sekolah, ia pun berlaku biasa saja, tidak ada sesuatu yang dipamerkan. Bahkan ia jarang jajan ke kantin. Bergaulnya pun tidak pilih-pilih teman. Seorang sahabat dekat terkaget-kaget ketika saya ajak main ke kediaman Bang Totok.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun