Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bang Totok Keling: Ngeli ning Aja Nganti Keli

18 Agustus 2024   17:36 Diperbarui: 18 Agustus 2024   22:07 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dibuat pusing aksara Jawa/Foto: dokpri Hermard

Kurang lebih lima tahun setelah bekerja, ia menduduki jabatan fungsional peneliti, dipercaya mengelola sanggar sastra, menjadi juri lomba sastra, narasumber pelatihan penulisan, ditunjuk sebagai editor jurnal ilmiah. 

Pada tahun-tahun berikutnya, lelaki bernasib baik itu dipercaya sebagai koordinator bidang, masuk dalam tim perencanaan, dan pengawas koperasi. Di luar kantor, ia malang melintang di dunia penjurian pembacaan sastra hingga dipercaya Dinas Pendidikan sebagai mentor pembacaan puisi ke tingkat nasional. 

Betapa herannya saya mendapati kenyataan ini. Lha artikulasinya saja tidak jelas, kok dipercaya sebagai mentor baca puisi? Saya teringat waktu SMA, saat Bang Totok membaca puisi di depan kelas, ia tidak bisa melafalkan huruf "r" dengan baik. Tapi sampai pensiun pun lelaki berdarah Jawa itu tetap dipercaya beberapa sekolah menjadi mentor pembacaan puisi.

Kenyataan ini menunjukkan bahwa ia turut berperan serta dalam menumbuhkan dan melahirkan pembaca-pembaca puisi terbaik di Yogyakarta.

"Artikulasi memang penting. Tapi kan bukan saya yang membaca puisi saat lomba. Saya hanya memberi bekal, mengajarkan bagaimana teknik membaca puisi. Dari interpretasi, vokalisasi, ekspresi, dan berbagai konvensi pembacaan puisi berdasarkan pengalaman. Hal yang lebih penting adalah bagaimana kita menjaga kepercayaan dan membangun relasi dengan baik," jelas Bang Totok Keling saat kami ngobrol di warung kopi Kotagede.

Bang Totok kecil bersama ibunda tercinta/Foto: dokpri Hermard
Bang Totok kecil bersama ibunda tercinta/Foto: dokpri Hermard
Bang Totok Keling merupakan nama panggilan di keluarga. Disebut "keling" karena warna kulitnya hitam dibandingkan adik maupun kakaknya.

Saat kanak-kanak di Kuala Tungkal, banyak orang India yang membuka toko kain. Mereka dikenali juga sebagai orang keling karena berkulit hitam. Jadilah ayahya memanggil anak nomor dua dengan Totok Keling.

Kesederhanaan Bang Totok Keling terus terbawa hingga ia berkeluarga dan memasuki masa tua. Meskipun menghuni rumah mewah di sebuah kluster, punya mobil, tapi kemanapun pergi, ia lebih suka mengendarai honda supra warna hitam. 

Jika jumatan di kampung dekat perumahan, pensiunan PNS itu memilih naik sepeda. Setiap jalan pagi, ia menyempatkan bertegur sapa dengan masyarakat sekitar, sampai-sampai Pak Mudji, petani tradisional yang memiliki beberapa petak sawah di selatan desa Karang Mloko, Sleman, menyegatnya sekadar ingin menyapa dan berbincang lebih akrab.

Sengaja saya menampilkan Bang Totok Keling sebagai local heroes karena ia layak dijadikan inspirasi. Sejak kecil sampai menua, meskipun berasal dari keluarga berkecukupan, hidup tidak kekurangan, tetapi selalu tampil sederhana, tidak menonjolkan diri, menghargai orang lain, dan menjaga setiap kepercayaan yang diberikan. 

Bagi saya, ia merupakan sosok dengan kemampuan memahami falsafah hidup orang Jawa: anglaras ilining banyu angeli, ananging ora keli--menyesuaikan diri dengan aliran air, sengaja mengikuti arus tetapi tidak terbawa arus. Mampu menyesuaikan diri dengan gerak perkembangan zaman tanpa terlena di dalam pusarannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun