Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Pak Mardjoko, Smartphone, dan Garengpung

10 Agustus 2024   08:59 Diperbarui: 10 Agustus 2024   13:19 332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menghayati hidup di desa/Foto: Hermard

"Piye wis ketemu buk'e Nisa? Sida butuh endog bebek ora? (Bagaimana, sudah ketemu dengan ibunya Nisa? Jadi mengambil telur bebek tidak?)," tanya Pak Mardjoko singkat kepada Tantri, menantunya.

"Pun, wau sampun kula WA (Sudah tadi lewat WA)," jawab Tantri, perempuan tinggi besar jebolan SLTA.

"Sak iki-ki apa-apa kok nganggo WA. Mbok ya ketemu  ki ngapa?  Lak ya isa takon langsung, dikaruhke (Sekarang apa-apa kok lewat WA. Sebaiknya bertemu dan bisa bertanya langsung sambil silaturahmi)," balas Pak Mardjoko gusar.

Dialog singkat itu memperlihatkan bahwa orang-orang  tua seperti Pak Mardjoko (68) di wilayah pedesaan justeru merasa terusik dengan kehadiran gawai, smartphone. 

Pasalnya, dengan tetangga hanya berselang dua rumah saja, menantunya mengandalkan kecanggihan gawai. Lelaki berkulit legam itu merasa  relasi sosial seakan-akan dinihilkan oleh smartphone.

Keluarga Pak Mardjoko tinggal di desa  Mlati, Sleman, tiga belas kilometer  di sisi barat kota Yogyakarta. Sebuah desa yang masih akrab dengan acara perayaan (gotong royong), nyadran (nyekar bersama ke makam menjelang bulan puasa), lek-lekan bayen (masyarakat berjaga malam hari saat ada tetangga melahirkan bayi). 

Sapi keluarga Pak Mardjoko/Foto: Hermard
Sapi keluarga Pak Mardjoko/Foto: Hermard
Bahkan setiap salah seekor sapinya beranak, Bu Mardjoko setia mengirimkan brokohan-sedekah berupa sega berkatan komplit ke tetangga. Mereka punya sebelas ekor sapi, di samping memelihara puluhan ekor unggas.

Suami-isteri itu hanya sempat mengenyam pendidikan sekolah dasar. Sedangkan anak dan menantu, Mas Bibit serta Mbak Tantri mampu mengenyam pendidikan hingga setingkat SMA.

Sejak kanak-kanak hingga menua, Pak Mardjoko dan keluarga  tak pernah beringsut dari desa. Mereka memilih pekerjaan sebagai petani tulen, sehingga Pak Mardjoko memiliki kemampuan niteni pranatamangsa (mencermati perubahan iklim melalui tanda-tanda alam), dan berprinsip nut kahanan, mengikuti kehendak alam semesta. 

Jika garengpung (tonggeret/tangir) berbunyi nyaring, ia percaya pada pertanda bahwa musim kemarau segera tiba. Lelaki perokok itu  kemudian mengganti ternak produktif berupa unggas   bebek dengan memperbanyak memelihara ayam kampung dengan menjual semua bebek miliknya. 

Angon bebek dan mepe pari/Foto: Hermard
Angon bebek dan mepe pari/Foto: Hermard
Hal ini dilakukan karena bebek tidak mungkin dipelihara dengan baik (mendatangkan keuntungan) saat musim kemarau.  Sebab angon bebek  di area persawahan memerlukan air agar keong- makanan bergizi bebek- dapat hidup dan bebek merasa nyaman bersentuhan dengan air. 

Bebarengan dengan itu, ia  mengganti tanaman padi dengan palawija yang lebih tahan hidup pada musim sulit air. Pekerjaan lainnya adalah keliling desa dengan gerobak sapi miliknya, memborong panenan kacang prol dari petani lain.

Sebagai petani tradisi dengan pendidikan terbatas, Pak Mardjoko mengalami kegagapan dalam mengikuti perkembangan zaman, kemajuan teknologi. Ia tetap memilih menghayati pekerjaannya sebagai petani sekaligus peternak.

Meminumkan jamu/Foto: Hermard
Meminumkan jamu/Foto: Hermard
Meskipun dalam kehidupan modern penggunaan smartphone  menjadi sangat penting bagi banyak orang karena fungsi  dan kemampuannya memudahkan berbagai aspek kehidupan, tapi  Pak Mardjoko justeru memililih hidup tanpa smartphone yang dianggap dapat mengurangi interaksi sosial secara langsung. 

Baginya, realitas kedekatan hubungan sosial dalam masyarat sangat penting karena mampu menjaga hubungan interpersonal dengan sehat. Mungkin saja dalam dirinya berkembang pemikiran bahwa gawai mengganggu keseimbangan dalam kehidupan sehari-hari, bisa menyebabkan orang terisolasi secara sosial.

"Kula mboten mudeng pripun carane ngginakaken HP, wong sagede namung tandur-Saya tidak paham bagaimana menggunakan HP, bisa saya ya cuma bertani," ujarnya.

Artinya, Pak Mardjoko menyadari dirinya kurang melek terhadap teknologi dan tidak mau direpotkan oleh keberadaan benda bernama HP atau gawai.

Hal ini berbanding terbalik dengan masyarakat kota, rata-rata melek teknologi, tidak bisa melepaskan diri dari smartphone. 

Begitu smartphone tertinggal di rumah atau kehilangan HP, seakan bencana besar tengah menimpa. Hal ini terjadi karena smartphone dapat digunakan menyimpan berbagai data, mempermudah komunikasi, mampu mengakses segala informasi-termasuk berita terkini, cuaca, dan hal penting lainnya- dari belahan dunia manapun. 

Selain itu, smartphone mampu meningkatkan produktivitas dengan berbagai aplikasi, sebagai alat transaksi perbankan maupun belanja online, serta keperluan berselancar kemanapun di jagat maya.

Kedamaian desa/Foto: Hermard
Kedamaian desa/Foto: Hermard
Saat berjarak dengan handphone, masyarakat tradisional berharap dapat lebih fokus pada interaksi langsung dengan orang lain, memperdalam hubungan sosial, dan menikmati momen tanpa gangguan.  Mungkin saja bagi orang-orang tertentu lebih nyaman hidup tanpa smartphone, back to nature!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun