Sebelum wabah Corona mendera, setiap bulan purnama sering diadakan pertunjukan tari-tarian atau wayangan. Pernah suatu malam saat mengantar tamu, Djono melihat bayangan macan melompat di depannya. Macan itu hanya terlihat sekelebat lalu menghilang.Â
"Kula kinten macan menika namung bagekaken, mboten niat ngganggu-macan itu hanya berniat uluk salam, tidak bermaksud mengganggu," cerita Djono.
Masyarakat lokal menyebutnya sebagai Gapura Wringinlawang berdasarkan cerita rakyat yang didapatkan secara turun-temurun.Â
Knebel dalam tulisannya tahun 1907 pun menyebut gapura ini dengan nama Gapura Wringinlawang. Dulu memang terdapat dua pohon beringin mengapit gapura setinggi lebih dari lima belas meter itu.
Gapura Wringin Lawang berbentuk gapura terbelah atau bentar, terdiri atas dua bagian simetris, terbuat dari bata merah. Gapura ini diyakini sebagai gerbang masuk ke kompleks bangunan penting pada masa Kerajaan Majapahit.
Di tengah kolam terdapat miniatur candi. Bangunan ini, menghadap ke utara, berada di kedalaman tiga meter lebih dari permukaan tanah, ada tangga menuju dasar kolam.Â
Di sisi kanan dan kiri tangga terdapat kolam dengan panjang tiga meter lebih, lebar dua meter dan kedalaman satu setengah meter. Di tengah bangunan terdapat miniatur candi.
"Dulu wilayah ini merupakan lahan pertanian dan terdapat pemakaman penduduk. Petani resah dengan hama tikus. Setiap di kejar lari ke arah gundukan di dekat pemakaman. Petani tidak berani membongkar gundukan karena takut kualat. Lantas pada tahun 1914 atas perintah Raden Kromodjojo Adinegoro, Bupati Mojokerto, dilakukan penggalian dan ditemukan candi sebagai sarang tikus. Makanya candi ini dikenal sebagai Candi Tikus," ujar petugas dari Dinas Purbakala yang tengah piket.
Sebagai pentirtaan, keberadaan candi dilengkapi pancuran aliran air. Secara keseluruhan ada empat puluh enam pancuran air berupa arca berbentuk hewan, makara (binatang mitologi dalam agama Hindu dan Buddha). Pancuran (Jaladwara) kini hanya tersisa tujuh belas pada tiga sisi batur menara.