Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Perjalanan ke Timur, Rujak Mak Pat, dan Tiga Situs Majapahit

15 Juli 2024   11:53 Diperbarui: 15 Juli 2024   22:13 1317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dari rujak Mak Pat sampai Candi Brahu/Foto: Hermard

Sebelum wabah Corona mendera, setiap bulan purnama sering diadakan pertunjukan tari-tarian atau wayangan. Pernah suatu malam saat mengantar tamu, Djono melihat bayangan macan melompat di depannya. Macan itu hanya terlihat sekelebat lalu menghilang. 

"Kula kinten macan menika namung bagekaken, mboten niat ngganggu-macan itu hanya berniat uluk salam, tidak bermaksud mengganggu," cerita Djono.

Area pentas kesenian/Foto: Hermard
Area pentas kesenian/Foto: Hermard
Keberadaan Wringinlawang sudah dicatat pada tahun 1815 oleh Wardenaar yang mendapat tugas dari Raffles melakukan pencatatan peninggalan arkeologis di daerah Mojokerto. Dalam buku History of Java (Raffles, 1817), terdapat gambar sketsa Gapura Wringinlawang dengan keterangan Remains of a gateway at Majapahit called Gapura Jati Paser. 

Masyarakat lokal menyebutnya sebagai Gapura Wringinlawang berdasarkan cerita rakyat yang didapatkan secara turun-temurun. 

Knebel dalam tulisannya tahun 1907 pun menyebut gapura ini dengan nama Gapura Wringinlawang. Dulu memang terdapat dua pohon beringin mengapit gapura setinggi lebih dari lima belas meter itu.

Gapura Wringin Lawang berbentuk gapura terbelah atau bentar, terdiri atas dua bagian simetris, terbuat dari bata merah. Gapura ini diyakini sebagai gerbang masuk ke kompleks bangunan penting pada masa Kerajaan Majapahit.

Larangan di Candi Tikus/Foto: Hermard
Larangan di Candi Tikus/Foto: Hermard
Situs menarik lainnya adalah Candi Tikus. Jangan membayangkan setibanya di desa Dinuk, Temon, Trowulan, Anda akan menemukan bangunan batu menjulang menyerupai gunung, seperti bangunan candi pada umumnya. Karena meskipun bernama candi, tapi bangunan yang dimaksudkan merupakan sebuah pentirtaan atau kolam pemandian.

Di tengah kolam terdapat miniatur candi. Bangunan ini, menghadap ke utara, berada di kedalaman tiga meter lebih dari permukaan tanah, ada tangga menuju dasar kolam. 

Di sisi kanan dan kiri tangga terdapat kolam dengan panjang tiga meter lebih, lebar dua meter dan kedalaman satu setengah meter. Di tengah bangunan terdapat miniatur candi.

"Dulu wilayah ini merupakan lahan pertanian dan terdapat pemakaman penduduk. Petani resah dengan hama tikus. Setiap di kejar lari ke arah gundukan di dekat pemakaman. Petani tidak berani membongkar gundukan karena takut kualat. Lantas pada tahun 1914 atas perintah Raden Kromodjojo Adinegoro, Bupati Mojokerto, dilakukan penggalian dan ditemukan candi sebagai sarang tikus. Makanya candi ini dikenal sebagai Candi Tikus," ujar petugas dari Dinas Purbakala yang tengah piket.

Sebagai pentirtaan, keberadaan candi dilengkapi pancuran aliran air. Secara keseluruhan ada empat puluh enam pancuran air berupa arca berbentuk hewan, makara (binatang mitologi dalam agama Hindu dan Buddha). Pancuran (Jaladwara) kini hanya tersisa tujuh belas pada tiga sisi batur menara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun