Tepat pukul 06.45 WIB (5/7/2024) ular besi Sancaka dengan sembilan gerbong mulai melata dan kian bergerak cepat dari Stasiun Tugu Yogyakarta ke arah timur menuju Stasiun Gubeng Surabaya. Desisannya terus meraung sepanjang perjalanan, terutama saat akan melewati perlintasan kereta api tanpa palang pintu.
Di gerbong eksekutif dua deretan depan, saya dan Ibu Negara Omah Ampiran menempati kursi di antara bule-bule dengan tujuan Mojokerto. Rasa-rasanya wisatawan dari Amerika, Perancis, dan Jerman itu akan menuju gunung Bromo dari jalur kota kecil Mojokerto.
Bagi saya, kembali ke Mojokerto adalah memunguti remahan kenangan-kenangan masa lalu yang mewarnai perkenalan dengan Ibu Negara Omah Ampiran.
"Kita langsung ke rujak Mak Pat. Rujak cingurnya mantap," ujar Mbak Martini dan Mas Agus yang menjemput kami di stasiun.
Dalam waktu sekejap kami sudah sampai di warung dengan dominasi warna hijau. Maklum warung dan stasiun berada dalam satu kecamatan, Kranggan.Â
Warung Mak Pat Berada di ujung gang Panggreman V, Kranggan, Mojokerto, berbatasan langsung dengan lapangan sepak bola. Masuk sekitar dua ratus meter dari Jalan Raya Pahlawan.
"Bangunan aslinya berdinding gedek, anyaman bambu. Ada pohon rindang di samping dan di atasnya terdapat kotak kandang merpati. Sekarang bangunannya sudah permanen, tidak ada pohon dan kandang merpatinya," jelas Mas Agus sambil mengenang masa tahun tujuh puluhan.
Mak Pat (Patimah) dengan gesit melayani pesanan tiga porsi rujak cingur matengan. Di depannya terdapat layah (cobek) besar. Dengan cekatan ia mengulek menghaluskan kacang, bawang putih, terasi, cabai rawit, gula merah, dan garam. Ditambahkan petis dan air asam.Â
Tangannya mengaduk rata, sehingga permukaan cobek menjadi berwarna kecokelatan. Kemudian ia mengiris cingur sapi rebus, mentimun, krai, tempe, tahu goreng, dan lontong. Menambahkan kangkung, lalu toge rebus. Semua ditaruh di atas cobekan, terbagi langsung dalam tiga porsi yang kemudian dicampur rata dengan bumbu ulekan.
"Irisan pisang kluthuk yang ikut diulek bersama bumbu kacang, membuat rujak terasa gurih dan nyamleng. Apalagi petis dan bumbu kacangnya melimpah," ujar Ibu Negara Omah Ampiran.
Warung Rujak Mak Pat sudah ada sejak akhir tahun 1970-an. Kini dikelola oleh generasi kedua. Mak Pat meneruskan keahlian meracik bumbu rujak cingur dari Bu Tholib, ibunya.
Kesohoran warung ini memang sebermula dari rujak cingur. Sekarang tersedia pula gado-gado, es kolak, es dawet, dan camcao.
"Bahan-bahan mentahnya dibeli dari pasar Tanjung di Jalan HOS Cokroaminoto, tak jauh dari sini. Dulu setiap ibu berbelanja, saya boncengkan motor, pulang pergi beberapa kali. Sekarang, saya menggunakan jasa becak, cukup sekali angkut," jelas Mak Pat, wanita berusia di atas lima puluh tahunan.
Pelanggan yang datang akan merasakan kelezatan rujak dengan sensasi cingur lembut, empuk, dan kenyal. Baik rujak cingur maupun gado-gado disajikan dalam porsi jumbo, meskipun begitu harga tetap ramah di kantong. Pesanan gado-gado diracik Mbak Aning, adik Mak Pat, dengan rasa gurih pedas ngangeni.
Petualangan di tlatah kerajaan Majapahit terasa hambar kalau tidak mengunjungi situs jejak sejarah Majapahit. Tanpa janjian, kami menemui Pak Djono di situs gapura Wringinlawang, desa Jatipasar, Trowulan.Â
Lelaki berusia 70 tahun itu mengaku turut memelihara situs Wringinlawang karena semasa sekolah dasar tahun 1970-an sering membantu ayahnya mencabuti rumput di area situs Wringinlawang.
"Sisih wetan gapura, rumiyin wonten mergi, lajeng panggenan wijik. Sakderengipun mlebet saking arah gunung Penanggungan iring wetan menika, tamu nglewati panggenan wijik-wijik. Lajeng mlebet kairingan gamelan saking punthuk gong---di timur gapura dulu ada jalan dan sumur tempat mencuci kaki. Tamu yang datang dari arah gunung Penanggungan mencuci kaki, masuk diiringi gamelan dari punthuk gong," jelas Djono, warga Gang Mushola, Jatipasar.
Jika ada merti dusun, hajatan warga, sering diadakan pergelaran wayang kulit di area barat laut gapura Wringinlawang. Hal ini dilakukan untuk memanjatkan doa dan menghormati pepunden.Â
Menurut Djono, lelaki dengan lima anak, pagelaran wayang kulit maupun tari-tarian umumnya dilaksanakan pada malam Selasa Kliwon.
"Acara itu tidak hanya dilakukan masyarakat sekitar. Tapi ada yang berasal dari Banyuwangi dan Bali. Hal ini tidak mengherankan karena gapura Wringinlawang merupakan peninggalan Hindu dan masyarakat Bali asal muasalnya dari sini," jelas Djono meyakinkan.
Sebelum wabah Corona mendera, setiap bulan purnama sering diadakan pertunjukan tari-tarian atau wayangan. Pernah suatu malam saat mengantar tamu, Djono melihat bayangan macan melompat di depannya. Macan itu hanya terlihat sekelebat lalu menghilang.Â
"Kula kinten macan menika namung bagekaken, mboten niat ngganggu-macan itu hanya berniat uluk salam, tidak bermaksud mengganggu," cerita Djono.
Dalam buku History of Java (Raffles, 1817), terdapat gambar sketsa Gapura Wringinlawang dengan keterangan Remains of a gateway at Majapahit called Gapura Jati Paser.Â
Keberadaan Wringinlawang sudah dicatat pada tahun 1815 oleh Wardenaar yang mendapat tugas dari Raffles melakukan pencatatan peninggalan arkeologis di daerah Mojokerto.Masyarakat lokal menyebutnya sebagai Gapura Wringinlawang berdasarkan cerita rakyat yang didapatkan secara turun-temurun.Â
Knebel dalam tulisannya tahun 1907 pun menyebut gapura ini dengan nama Gapura Wringinlawang. Dulu memang terdapat dua pohon beringin mengapit gapura setinggi lebih dari lima belas meter itu.
Gapura Wringin Lawang berbentuk gapura terbelah atau bentar, terdiri atas dua bagian simetris, terbuat dari bata merah. Gapura ini diyakini sebagai gerbang masuk ke kompleks bangunan penting pada masa Kerajaan Majapahit.
candi pada umumnya. Karena meskipun bernama candi, tapi bangunan yang dimaksudkan merupakan sebuah pentirtaan atau kolam pemandian.
Situs menarik lainnya adalah Candi Tikus. Jangan membayangkan setibanya di desa Dinuk, Temon, Trowulan, Anda akan menemukan bangunan batu menjulang menyerupai gunung, seperti bangunanDi tengah kolam terdapat miniatur candi. Bangunan ini, menghadap ke utara, berada di kedalaman tiga meter lebih dari permukaan tanah, ada tangga menuju dasar kolam.Â
Di sisi kanan dan kiri tangga terdapat kolam dengan panjang tiga meter lebih, lebar dua meter dan kedalaman satu setengah meter. Di tengah bangunan terdapat miniatur candi.
"Dulu wilayah ini merupakan lahan pertanian dan terdapat pemakaman penduduk. Petani resah dengan hama tikus. Setiap di kejar lari ke arah gundukan di dekat pemakaman. Petani tidak berani membongkar gundukan karena takut kualat. Lantas pada tahun 1914 atas perintah Raden Kromodjojo Adinegoro, Bupati Mojokerto, dilakukan penggalian dan ditemukan candi sebagai sarang tikus. Makanya candi ini dikenal sebagai Candi Tikus," ujar petugas dari Dinas Purbakala yang tengah piket.
Sebagai pentirtaan, keberadaan candi dilengkapi pancuran aliran air. Secara keseluruhan ada empat puluh enam pancuran air berupa arca berbentuk hewan, makara (binatang mitologi dalam agama Hindu dan Buddha). Pancuran (Jaladwara) kini hanya tersisa tujuh belas pada tiga sisi batur menara.
Candi Tikus merupakan salah satu contoh arsitektur dan seni pemandian suci pada masa Kerajaan Majapahit. Situs ini memberikan gambaran tentang teknologi pengelolaan dan arti penting air dalam kehidupan masyarakat Majapahit.
Melihat dari bentuk dan susunan candi, menyerupai gunung Mahameru di India, maka para ahli meyakini Candi Tikus merupakan petirtaan suci. Artinya, air dari tempat tersebut dianggap sebagai air suci.
Ada masyarakat yang menghubungkan Candi Tikus dengan pentirtaan (candi) Jalatunda yang berada di lereng barat Gunung Penanggungan, Dukuh Balekambang, Desa Seloliman, Trawas, Mojokerto.Â
Jika dianggap sebagai ular, maka Candi Jalatunda (merupakan pentirtaan tertua di Jawa Timur) dianggap sebagai kepala, sedangkan pentirtaan Candi Tikus (terletak di dataran rendah) merupakan ekornya.
Menurut Heni Kertopawiro, seorang ahli penerawangan, ada hubungan antara Candi Tikus dengan Candi Brahu yang hanya berjarak tujuh kilometer.
"Kemungkinannya Candi Tikus merupakan tempat ritual penyucian diri dan Candi Brahu adalah tempat peribadatan. Jadi ada konektivitas," jelas perempuan yang tinggal tak jauh dari lokasi makam Raja-raja Imogiri, Yogyakarta.
Candi Brahu terletak di desa Bejijong, Trowulan, merupakan candi Budha yang diperkirakan berusia lebih tua dibandingkan kerajaan Majapahit.
Candi Brahu sudah ada ketika Majapahit dipimpin oleh Hayam Wuruk, bahkan candi ini sudah ada ketika masa pemerintahan Raja Brawijaya I (dikutip dari bejijong.desa.id). Oleh sebab itu, Candi Brahu diperkirakan candi pertama yang dibangun di situs Trowulan.
Dalam prasasti Alasantan (9 September 939 Masehi)- ditemukan di sisi barat candi- tertulis kata Warahu atau Wanaru, bermakna bangunan suci untuk acara keagamaan. Kata Wanaru kemudian dikaitkan dengan kata Brahu. Prasasti tersebut juga menyebutkan jika pembuatan Candi Brahu atas perintah Raja Empu Sendok dari Kahuripan.
Candi Brahu berbeda dengan candi-candi di Trowulan. Pada umumnya candi di Trowulan dibangun ketika masa pemerintahan Kerajaan Majapahit. Candi ini memiliki relief yang menggambarkan sekretisme antara agama Hindu dan agama Budha.
Candi setinggi lebih dari dua puluh meter, terbuat dari batu bata merah, memiliki struktur atap yang sudah rusak tetapi masih memperlihatkan kemegahannya. Bagian dasar candi berbentuk bujur sangkar, dengan beberapa relief dan ornamen yang menghiasi dindingnya.
Di anak tangga masuk ke candi, masih sering terdapat sesajen. Di luar pagar candi, beberapa pedagang menawarkan es tebu, pentol, bakpao, dan lainnya...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H