Anggapan ini  berangkat dari kenyataan sulitnya mencari pekerjaan, kecilnya gaji yang diterima, mahalnya harga-harga kebutuhan pokok.Â
Belum lagi dengan bumbu "rekayasa" simulasi yang memang terasa tidak masuk akal (absurd). Misalnya saja apa yang dibayangkan Togog dengan penghasilan 7 juta/bulan. Dipotong Tapera 3.0%. Dengan begitu ia memiliki tabungan 2.520.000/tahun. Â
Seandainya harga  rumah 400 jutaan, maka mau tidak mau Togog  harus menabung selama 158 tahun. Atau rumah seharga 200 jutaan, ya setidaknya  menabung selama 80 tahun!
Sampai hari ini, persoalan Program Tapera terus menuai kritik. Lewat media sosial, @karyantirsf menulis: Mau aja di kadalin sama pemerintah. Lama kerja maksimal 30 tahun juga gak akan kebeli rumah itu. Jadi bener para pekerja memang nabung untuk sosial. Itu akal akalan pemerintah  menghimpun dana untuk membiayai proyek/program pemerintah. Sementara itu @andrian_sign berseloroh, rumah belum kebeli, mati duluan iya.Â
program Tapera karena tidak sesuai dengan kondisi pekerja di Bantul (dikutip dari Harian Jogja). Menurutnya, ada ketidakjelasan mengenai alokasi anggaran yang akan dikumpulkan melalui program tersebut.
Sedangkan Ketua Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Bantul, Fardhanatun, menolak berlakunya"Kami menolak Tapera. Karena itu ujung-ujungnya uang yang terkumpul sekian banyak kita tidak tahu ke mana," paparnya, Minggu (2/6/2024).
Kalau sudah begini, maka dalam urusan membeli rumah, isih penak jamanku to?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H