Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Seni Artikel Utama

Ipul di Antara Pigmen, Indigo, dan Keunikan Pewarna Alam

19 Januari 2024   09:46 Diperbarui: 21 Januari 2024   12:40 1435
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pewarna indigo versus tingi berkolaborasi dengan jolawe. (Foto: Sekadargambar/SB)

Ngangsu kawruh pewarna alam. (Foto: Hermard)
Ngangsu kawruh pewarna alam. (Foto: Hermard)
Tidak dapat dihindari, proses pewarnaan alam pun tetap akan meninggalkan limbah berupa air bilasan. Meskipun indigo tidak mengandung unsur logam karena proses pengikatan warnanya melalui oksidasi udara, tetapi tetap harus dibilas agar warnanya menjadi bright. 

Sisa bilasan inilah yang disebut limbah. Air limbah indigo bersifat basa, jika disiram langsung ke tanaman bisa menyebabkan tanaman rusak.

Proses lain agar indigo tidak terlihat mblabus, maka kain warna indigo harus ditreatment (netralisasi) menggunakan larutan asam.

"Supaya tidak menimbulkan limbah pencemaran, maka air sisa bilasan indigo yang bersifat basa, saya campurkan dengan sisa larutan asam, maka hasilnya menjadi netral, tidak membahayakan lingkungan, meskipun ini memerlukan kajian lebih lanjut," jelas Ipul.

Untuk pewarnaan non-indigo, bahan pewarnanya dipakai secara terus-menurus, tidak sekali pakai, sehingga tidak membuang larutan utamanya (mengandung unsur logam) yang dapat mencemari lingkungan. 

Jika larutan pewarna itu hanya digunakan sekali pakai, maka perlu dikelola dengan filterisasi agar lingkungan tetap aman. Bisa juga menetralkannya dengan perlakuan tertentu menggunakan ekoenzim.

Selasa siang (16/1/2024), saya diampirri Mas Wibawa, priyayi Kotagede, ngangsu kawruh mengenai pewarna alam bersama teman-teman pecinta pohon: Mas Fasis, Mas Surip, Prof Dwi Marianto di kediaman Mas Ipul (36) di bilangan Karang, Trimulyo, Sleman. 

Lelaki prasaja itu ditemani istri, Titi (31) dan anak, Auri (3), menyambut kedatangan kami di "ruang kerja"-nya dengan ramah. Ruang kerja di samping rumah itu dikelilingi pepohonan, ada tali jemuran untuk mengangin-anginkan hasil celupan. Tempat ini juga sering digunakan untuk workshop dan bimbingan privat pewarnaan alam.

Catherine (Swiss), mengambil kelas privat untuk berkenalan dengan warna tetumbuhan tropis. (Foto: Sekadargambar/SB)
Catherine (Swiss), mengambil kelas privat untuk berkenalan dengan warna tetumbuhan tropis. (Foto: Sekadargambar/SB)
Sepanjang sesrawungan ngangsu kawruh itu kami duduk melingkar di atas dingklik, mendengarkan pitutur Mas Ipul, ditemani teh hangat dan serabi berbalut daun pisang.

"Saya bersyukur bisa hadir di sini. Selama ini orang lain menganggap pigmen sebagai benda mati, partikel. Tapi Mas Ipul punya sisi pandang berbeda, ternyata pigmen itu sebagai makhluk hidup (mikroorganisme) yang mempunyai gelombang," tutur Prof Dwi Marianto di sela obrolan kami yang gayeng.

Menyimak. (Foto: Wibawa)
Menyimak. (Foto: Wibawa)
Untuk melestarikan pewarna alam, Ipul berharap ada pihak yang tertarik membuat konservasi tumbuhan khusus pewarna alam, terutama tanaman keras. Di samping itu, ia sendiri ingin mengeksplorasi tanaman perdu yang tumbuh liar, seperti Mangsi (menghasilkan warna keunguan), Suji (hijau), Bawang Dayak (merah marun) untuk pewarna alam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun