Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Lontong Tahu, Serabi Ndeso, di Tangan Perempuan Perkasa

27 November 2023   12:56 Diperbarui: 29 November 2023   10:46 421
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesetiaan daun jati/Foto: Hermard

Perjalanan ke Blora tentu saja tidak hanya "berburu" cerita soal kemonceran Pramoedya Ananta Toer, gurih pedasnya lontong opor Pak Pangat di Ngloram, atau kepedulian Lurah Bangsri terhadap wong cilik, penyandang disabilitas dan ODGJ. Lebih dari itu,  melebar ke mitos  Naya Gimbal, keberadaan orang Samin, atau keunikan kuliner yang tak terduga: bagaimana rujak dikawinkan dengan pecel dalam satu pincuk atau kopi dan santan bersatu di Jepangrejo?

Hari Pertama
Menikmati perjalanan Yogyakarta-Blora (20/11/2023) sejauh lebih dari dua ratus kilometer melewati tol Solo-Surabaya tidak terasa melelahkan. Perjalanan baru  tersendat  selepas Ngawi menuju Blora melewati jalan sempit berkelok, naik turun, melintasi hutan jati wilayah kabupaten Bojonegoro dan kecamatan Cepu.

Jalan kecil dengan marka kuning hampir tak terputus itu menyebabkan kendaraan melambat, terlebih jika di depan ada deretan truk atau kendaraan besar lainnya.  Mau mendahului, takut terkena jebakan Pak Polisi, e, jebakan batman...

Menjelang satu jam mencapai kota Blora, kami sudah ditunggu Mas Herry  Mursanto dan Mbak Ida di Ngloram untuk beristirahat sambil makan siang di lontong opor Pak Pangat. Inilah kuliner Blora maknyus pertama kali yang kami nikmati. Tanpa basa-basi, kami lahap semua yang terhidang di atas meja sebelum merebahkan badan di hotel Santoso yang berseberangan dengan eks stasiun Blora.

Keteduhan eks stasiun Blora/Foto: Hermard
Keteduhan eks stasiun Blora/Foto: Hermard
Saat jam makan malam, saya, Mas Landung, dan Mbak Ina, dijemput Mas Noereska, Mas Sani, Mas Herry Mursanto, Mbak Ida, dan Mbak Betty.

"Kali ini kita akan makan malam sesuai request Mbak Ina, mencicipi lontong tahu di Jalan Gunung Sumbing," jelas Mbak Betty.

Meskipun gerimis membasahi kota Blora, ternyata warung tenda lontong tahu  Mbak Tri (35) dipenuhi pelanggan. Kami menunggu beberapa saat untuk mendapatkan tempat duduk yang nyaman. Udara dingin  menyergap, tapi Mbak Tri tetap semangat dan sabar melayani pembeli satu per satu.

"Mas-e pedasnya? Pakai telur? Kacang? Mau kecambah mentah?" deretan pertanyaan itu secara berulang ditanyakan Mbak Tri saat melayani pembeli yang duduk mengelilinginya.

Malam berteman lontong tahu/Foto: Hermard
Malam berteman lontong tahu/Foto: Hermard
Sejurus kemudian tangan Mbak Tri cekatan mengiris bawang bombai, daun bawang, diaduk dalam wadah berisi telur, ditambahkan garam, selanjutnya diserahkan ke asisten untuk digoreng. 

Ia melanjutkan mengulek kacang goreng, cabai rawit, kencur,  bawang putih, dan irisan jeruk pecel. Perempuan dengan tahi lalat di dagu ini -sekilas mirip Elvi Sukaesih-kemudian menuangkan  air bumbu plus kecap ke dalam cobek. 

Irisan lontong, tahu, ditambahi irisan kubis dan kecambah ia tata ke dalam piring yang telah diberi alas daun jati. Setelah itu  disiram dengan bumbu kacang. Atasnya diberi toping kacang  dan telur goreng, ditaburi bawang goreng dan daun seledri.

Nikmat manalagi yang bisa didustakan?/Foto: Hermard
Nikmat manalagi yang bisa didustakan?/Foto: Hermard
"Rasanya mantap, pedas gurihnya pas. Aroma bumbu kacang dan kecur menggugah selera," ujar Mbak Ina sambil menggigit tempe mendoan hangat.

Berjualan lontong tahu selama lima belas tahun tentu memerlukan kesungguhan, perjuangan berat, agar kebutuhan keluarga tercukupi. Terlebih harus berpindah tempat dari perempatan Jalan Gunung Semeru ke Jalan Gunung Sumbing. Dari sore sampai tengah malam ia harus kuat menahan jahatnya angin malam dan dinginnya udara, terlebih jika turun hujan.

"Tidak capek po Mbak, ngulek terus melayani pelanggan?" tanya Mbak Ina.

"Ndak Mbak, lebih capek kalau tidak ngulek. Berarti tidak ada yang beli, tidak dapat uang," jawab Mbak Tri dengan nada bergurau.

Beberapa pelanggan datang memesan lontong tahu untuk dibawa pulang. Mbak Tri dengan cekatan membungkus pesanan memakai daun jati. Ia tak peduli  hujan terus turun membasahi karpet dan kursi plastik yang tak tertutupi tenda.

Kesetiaan daun jati/Foto: Hermard
Kesetiaan daun jati/Foto: Hermard

Hari Kedua
Waktu belum lagi menunjuk pukul enam pagi saat saya lewat depan eks stasiun Blora menuju lapangan Kridosono. 

Di simpang tiga Jalan Rajawali, seorang perempuan dibantu lelaki yang tak muda lagi, tampak tengah mengipasi empat tungku, di atasnya ada semacam piringan gerabah. Saya menduga mereka tengah  memanggang serabi. 

Saya berniat mampir mengganjal perut setelah jalan pagi mengelilingi Kridosono. Siapa tahu serabi Blora berbeda dengan serabi Solo maupun Yogyakarta yang legit. 

Ternyata di trotoar Kridosono bertebaran warung tenda yang menyediakan pecel madiun, nasi rames, rawon, soto, dan lainnya. Tapi saya tidak tergoda, tetap ingin menikmati serabi di ujung Jalan Rajawali.

Sulami dan iklan politik/Foto: Hermard
Sulami dan iklan politik/Foto: Hermard
Satu jam kemudian sambil pulang menuju hotel Santoso, saya melihat  perempuan penjual serabi tidak sesibuk pagi tadi. Tungkunya  tidak menyala, bahkan piringan gerabah  pemanggang serabi sudah tidak terlihat. Untungnya di atas meja  masih ada  beberapa bungkusan daun tertata rapi.

"Masih dagangannya, Mbak?"

"Masih Mas, mau berapa bungkus?"

"Apa isinya, Mbak?"

"Serabi ndeso, Mas!"

"Saya makan di sini saja Mbak!"

Saya langsung duduk di bangku kayu menghadap meja, membuka bungkusan serabi. Bayangan mengenai serabi yang saya kenali, seketika ambyar! Bentuk dan ukurannya lebih menyerupai apem, kecil padat dan tebal. Dalam satu bungkus ada setangkep dan di antara dua serabi itu ditaburi parutan kelapa muda. Rasanya gurih, tidak ada manisnya.

Serabi Ndeso Seso/Foto: Hermard
Serabi Ndeso Seso/Foto: Hermard
"Lha Mas-nya agak kesiangan, jadi ya tinggal ini, sudah agak dingin," ujar Sulami sambil memperhatikan saya secara seksama, "Mas-nya bukan orang sini ya dan menginap di hotel Santoso kan?" tanya perempuan penuh senyum itu menyelidik.

Tentu saja perempuan tiga anak itu hafal betul dengan orang-orang di sekitar eks stasiun Blora dan Jalan Rajawali  karena ia sudah berjualan di situ selama empat tahun. 

Jam empat pagi sudah buka lapak  karena sebagian dagangannya akan diambil pedagang sayur dan pedagang sekitar rumah sakit Wira Husada dan Soetijono.

Dalam sehari ia bisa menghabiskan dua sampai empat kilogram tepung beras. Serabinya bisa laku sebanyak lima puluh sampai tujuh puluh lima bungkus dengan harga dua ribu per bungkus. Artinya rata-rata wanita asli Blora ini -berjualan dari jam empat sampai jam tujuh pagi-  mengantongi penghasilan seratus ribu rupiah.

"Kadang juga tidak laku semua, tersisa sepuluh bungkus. Apalagi kalau tiba-tiba hujan. Saya pernah memasang terpal agar tidak kehujanan, tapi repot kalau  harus bongkar pasang terpal sendirian. Akhirnya kalau hujan ya saya berteduh di emperan toko," jelas Sulami, warga kampung Seso ini sambil tangannya menunjuk ke emperan toko di belakangnya.

Wanita kelahiran tahun 1985 ini selalu menyisihkan penghasilan untuk modal membuat serabi esok hari dan menghidupi ketiga orang anaknya, nyangoni mereka sekolah. Jika dagangannya tidak habis, ia akan berbagi dengan tetangga dan anak-anaknya.

Sulami  tak boleh berhenti menempuh perjalanan dari kampung Seso ke pertigaan Jalan Rajawali berjarak enam kilometer pulang- pergi untuk menggelar dagangan serabi ndeso.

"Lik, iki jatahmu," ujar Sulami sambil memberikan selembar uang lima ribuan kepada lelaki yang menungguinya di emper toko.
Lelaki itu kemudian membereskan tungku, meja, dan kursi ke tempat  agak tersembunyi.

Hem, perjalanan kali ini mempertemukan saya dengan dua perempuan perkasa sebagai tulang punggung keluarga. Mbak Tri sudah lima belas tahun mengulek bumbu lontong tahu, dan Sulami yang bertahan hidup bersama ketiga anaknya dengan berjualan serabi ndeso seharga dua ribu rupiah per bungkus. 

Keduanya sama-sama menghayati pekerjaan mereka dengan sungguh-sungguh. Nrima ing pandum. Bagi Sulami,  ana sethithik dipangan sethithik...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun