"Rasanya mantap, pedas gurihnya pas. Aroma bumbu kacang dan kecur menggugah selera," ujar Mbak Ina sambil menggigit tempe mendoan hangat.
Berjualan lontong tahu selama lima belas tahun tentu memerlukan kesungguhan, perjuangan berat, agar kebutuhan keluarga tercukupi. Terlebih harus berpindah tempat dari perempatan Jalan Gunung Semeru ke Jalan Gunung Sumbing. Dari sore sampai tengah malam ia harus kuat menahan jahatnya angin malam dan dinginnya udara, terlebih jika turun hujan.
"Tidak capek po Mbak, ngulek terus melayani pelanggan?" tanya Mbak Ina.
"Ndak Mbak, lebih capek kalau tidak ngulek. Berarti tidak ada yang beli, tidak dapat uang," jawab Mbak Tri dengan nada bergurau.
Beberapa pelanggan datang memesan lontong tahu untuk dibawa pulang. Mbak Tri dengan cekatan membungkus pesanan memakai daun jati. Ia tak peduli  hujan terus turun membasahi karpet dan kursi plastik yang tak tertutupi tenda.
Hari Kedua
Waktu belum lagi menunjuk pukul enam pagi saat saya lewat depan eks stasiun Blora menuju lapangan Kridosono.Â
Di simpang tiga Jalan Rajawali, seorang perempuan dibantu lelaki yang tak muda lagi, tampak tengah mengipasi empat tungku, di atasnya ada semacam piringan gerabah. Saya menduga mereka tengah  memanggang serabi.Â
Saya berniat mampir mengganjal perut setelah jalan pagi mengelilingi Kridosono. Siapa tahu serabi Blora berbeda dengan serabi Solo maupun Yogyakarta yang legit.Â
Ternyata di trotoar Kridosono bertebaran warung tenda yang menyediakan pecel madiun, nasi rames, rawon, soto, dan lainnya. Tapi saya tidak tergoda, tetap ingin menikmati serabi di ujung Jalan Rajawali.
Satu jam kemudian sambil pulang menuju hotel Santoso, saya melihat  perempuan penjual serabi tidak sesibuk pagi tadi. Tungkunya  tidak menyala, bahkan piringan gerabah  pemanggang serabi sudah tidak terlihat. Untungnya di atas meja  masih ada  beberapa bungkusan daun tertata rapi.