Sesungguhnya bukan pertama kali ini saya bersilaturahmi ke kediaman Joni Ariadinata, cerpenis tersohor yang cerpen-cerpennya masuk dalam antologi cerpen pilihan Kompas, bahkan cerpen "Lampor" dinobatkan sebagai cerpen terbaik Kompas.Â
Sudah dua atau tiga kali saya mendatangi rumah berdinding batu bata tanpa plesteran, tapi itu beberapa tahun silam. Tepatnya saat rumah tersebut masih berdiri tegak sendirian di lemah kiwa -- tanah tempat membuang jin di pinggir kali -- seloroh Mas Joni.Â
Tidak seperti sekarang, puluhan rumah menyesaki pinggir jalan menuju rumah cerpenis yang ditinggali bersama Indah Laksanawati, istri tercinta, dan dua orang anak mereka. Ingatan kuat saya, rumah itu terletak di ujung jalan, mendekati pinggir kali (sungai) Bedog di wilayah Gamping Kidul, Ambarketawang, Yogyakarta.
Saat saya dan Krishna Mihardja sudah berada di Jalan Kertorejo sambil mengingat-ingat posisi rumah Mas Joni, tiba-tiba panggilan telepon berbunyi.
"Sudah sampai mana, Mas?" terdengar jelas suara  Dedet Setiadi, penyair,  di seberang telepon.
"Masjid Al Ikhlas, Mas, sudah benar kan?"
"Iya, Mas, lurus saja ke timur."
Ternyata ingatan saya tidak salah. Rumah itu tetap saja seperti terakhir kali saya lihat. Tembok batu batanya tanpa plesteran semen.Â
Tapi kali ini Mas Dedet tidak mengarahkan masuk ke rumah batu bata (rumah utama). Ia mengajak kami menuju rumah kayu di turunan/perengan, persis di tepian Kali Bedog.
"Mangga, Mas. Wah, sudah lama tidak ketemu," sambut Mas Joni di teras terbuka dengan dua meja dan kursi kayu memanjang.
Sabtu siang (2/9/23) beberapa teman praktisi sastra berkumpul di kediaman Mas Joni. Selain Dedet Setiadi (penyair), Krishna Mihardja (sastrawan Jawa), tampak Wicahyanti Rejeki (penggerak literasi), Syam Chandra Manthiek (penyair), Toto Sugiharto (novelis), dan Ons Untoro (penggerak Komunitas Sastra Bulan Purnama).Â
Saya turut hadir karena dua hari sebelumnya mendapat pesan WhatsApp dari Mbak Wicah yang mengajak ngobrol santai di rumah Abah Joni.
Selain meja dan bangku panjang, dinding kayu teras dihiasi lukisan "Padang Bulan" karya Fauzi Absal. Di bawahnya terdapat bingkai bertuliskan Sekolah Kebon.
"Mana yang namanya pohon hujan, Mas? Saya sangat penasaran dengan pohon yang baik hati itu," tanya Krishna Mihardja.
"Itu, Mas, pohon besar di sana," jelas Mas Joni, pria kelahiran Majalengka 1966, sambil menunjuk pohon Munggur besar, berada tepat di belakang rumah utama.
Joni sendiri heran ketika mengetahui  pohon itu mengeluarkan air berlimpah, memenuhi keperluan air untuk kolam-kolam ikan nila dan keperluan air di rumah.Â
Setelah makan siang yang mengenyangkan dengan sajian pepes ikan nila, bebek goreng, tahu tempe, lalapan, kami larut dalam obrolan dari zaman Orde Baru, keunikan sastrawan Yogyakarta, sampai buku Pramoedya Ananta Toer.Â
"Edan ora, mung gara-gara buku nganti diinterogasi, nginep neng Wirogunan, ora sida  mangkat Filipina. Aku nganti apal cara-cara mereka melakukan interogasi. (Gila, cuma gara-gara buku, diinterogasi, masuk Wirogunan, tidak jadi berangkat ke Filippna. Sampai hafal cara-cara mereka menginterogasi," tutur Ons Untoro.
Ia batal ke Filipina karena teman yang mengajaknya keburu diciduk aparat. Ons terkejut sebab mereka janjian jam delapan pagi berangkat ke bandara, ternyata jam tujuh lebih temannya, penggagas acara diskusi buku Pram, sudah diamankan aparat.
"Tapi zaman Orde Baru tetap ada enaknya kan?" tanya Ons kepada Syam Candra, penyair.
"Benar, Mas. Saat itu  puisi dihargai. Setiap puisi yang dimuat media, pasti mendapat bayaran. Sekarang media koran banyak yang bertumbangan dan puisi tidak mendapat penghargaan yang semestinya," timpal Syam.
"Beberapa waktu yang lalu Mas Genthong hadir di sini, acara diskusi peluncuran buku. Ia memprotes salah satu judul puisi. Ia begitu serius membuka pembicaraan. Membuat saya deg-degan. E, ternyata ia hanya berkelakar ala seniman celelekan, seharusnya bukan itu judulnya, tapi tanpa tak. Jadi judulnya Awalnya Bir... semua yang hadir spontan tertawa," papar Joni.
Cerita paling parah dikisahkan Wicahyanti saat ia masih menjadi guru. Ketika di sekolah, ia ditelepon Mas Bambang (nama disamarkan), sastrawan, yang berkunjung ke Magelang.Â
Lewat telepon ia meminta waktu untuk ketemu. Ada hal mahapenting yang ingin dibahas. Setelah bertemu, Bambang mengeluarkan buku puisi dan mempersoalkan penyairnya mengapa menulis Alloh dan bukan Allah?
"Tiwas saya melonggarkan waktu, ternyata masalahnya remeh-temeh. Mau nulis Alloh atau Allah itu kan terserah penyairnya. Itu bukan persoalan mahapenting. Itu hanya persoalan licentia poetica, kebebasan penyair."
Kami semua tersenyum kecut, membayangkan pertemuan Mbak Wicah dengan Mas Bambang, sastrawan yang maha aneh itu... Sastrawan yang juga njelomprongkake Toto Sugiharto yang bermimpi bisa tidur nyenyak di hotel mewah Artos atau Atria, ternyata harus menelan pil pahit, tidur malam di lembah Tidar yang dingin ditemani puluhan monyet liar...
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI