Orang-orang desa tidak menyadari jika sampah bisa menghambat aliran air yang menyebabkan banjir. Mereka tampaknya mengabaikan iklan layanan sosial yang ditayangkan televisi menyangkut banjir yang disebabkan pembuangan sampah ke sungai/saluran air.
Sedihnya lagi, di sisi utara ada penduduk yang punya usaha pemotongan ayam dan setiap selepas subuh membuang limbah pemotongan ke selokan.
Jika musim kemarau, mereka tetap membuang dan menumpuk sampah ke selokan (yang mengering) untuk kemudian dibakar. Dalam kasus ini saya teringat salah satu peristiwa yang dialami warga Yogya.Â
Ia bercerita tentang pembakaran sampah yang biasa dilakukan oleh masyarakat, termasuk masyarakat DIY.Â
Padahal, dampak dari pembakaran sampah tidak baik karena asapnya menimbulkan efek tidak sehat, menyebabkan sesak napas, bau rumah menjadi tidak sedap, pakaian yang dijemur berbau asap, batuk-batuk, menggangu pernapasan, mengancam kesehatan balita dan lansia.Â
Ia pernah mencoba berbicara dengan tetangga yang membakar sampah, tapi jawabannya ada saja. Misalnya, pelaku membakar di pekarangannya sendiri, kalau ikut langganan pengambilan sampah mahal. Bahkan, sampai ditantang berkelahi hanya karena masalah sampah.
Meskipun pemerintah DIY mengeluarkan Perda baru No. 1 Tahun 2022 sebagai perubahan Perda No. 10 Tahun 2012, kenyataannya sebagian masyarakat di Yogyakarta, terutama di wilayah pedesaan masih saja dengan santai membakar sampah atau membuang sampah ke selokan/sungai tanpa rasa bersalah.Â
Agaknya sosialisasi kepada masyarakat mengenai pengelolaan sampah berdasarkan tanggung jawab, kesadaran, kebersamaan, dan kesehatan/keselamatan perlu terus digencarkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H