Pada tahun 1970-an sebagian besar masyarakat desa dan sebagian kecil masyarakat perkotaan Yogyakarta yang memiliki pekarangan cukup luas, mempunyai tradisi membuat jugangan (mengeduk tanah) sebagai tempat pembuangan sampah.Â
Letaknya bisa di samping atau belakang rumah dengan ukuran sekitar satu meter persegi dan kedalaman kurang lebih satu meter. Semua limbah sampah rumah tangga dan dedaunan dimasukkan ke jugangan.Â
Agar sampah tidak cepat menggunung, dilakukan pembakaran pada waktu tertentu. Ada juga yang membakar sore hari dengan maksud mengusir serangga agas-agas (sejenis nyamuk).Â
Jika sudah penuh, jugangan ditutup tanah, kemudian membuat jugangan baru lagi. Dulu, di daerah pinggiran, ada orang berkeliling menawarkan jasa membuat jugangan dan memanjat pohon kelapa dengan bayaran sukarela.
Ritual membakar sampah pada saat itu tidak menjadi persoalan serius karena jarak antarrumah berjauhan, masing-masing rumah memiliki pekarangan cukup luas, dan jasa pengambilan sampah belum ada.Â
Masyarakat belum mengenal tempat penampungan sementara, tempat pengolahan sampah terpadu, terlebih tempat pengolahan sampah dengan prinsip reduce, reuse, recycle.
Pesatnya pembangunan dan perkembangan permukiman di desa dan kota pada tahun 1990-an membuat lahan semakin menyempit.Â
Tanah di desa mulai dirambah oleh pengembang perumahan karena di kota semakin sulit mendapatkan lahan guna membangun kompleks perumahan.Â
Permukaan tanah dilapisi semen/konblok. Kondisi ini berdampak pada persoalan sampah karena volumenya terus meningkat, sementara pengelolaan secara mandiri tidak lagi bisa tertangani karena keterbatasan lahan sehingga tidak memungkinkan membuat jugangan.
Melihat kenyataan ini, pemerintah tidak tinggal diam. Seingat saya di Yogyakarta pada tahun 1980-akhir, pemerintah sudah menyediakan beberapa tempat pembuangan sampah umum, misalnya di Jalan AM Sangaji, Notoyudan, Baciro, Kotabaru, Lempuyangan, dan kampung Bener.Â
Upaya ini dilakukan guna pengelolaan sampah dari pengumpulan, pengangkutan, dan pembuangan. Meskipun pada tahun 2000-an beberapa tempat sampah umum tersebut dipindah/ditutup karena menimbulkan bau kurang sedap.
Dalam perkembangannya, volume sampah terus meningkat sehingga bermunculan usaha pengelolaan sampah bersinergi dengan pemerintah dalam upaya pengurangan dan penanganan sampah.
Pada tahun 2013 pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta mengeluarkan Perda No. 3 Tahun 2013 tentang Peraturan Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga.Â
Peraturan ini dikeluarkan gubernur dengan pertimbangan pemerintah daerah berkewajiban turut serta melindungi, memelihara, serta membina keselamatan bumi (hamemayu hayuning bawana) serta menjamin hak setiap orang untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.Â
Pertimbangan berikutnya bahwa peningkatan produksi dan konsumsi barang belum didukung oleh penggunaan teknologi ramah lingkungan, sistem penanganan dan pengelolaan sampah yang optimal, serta belum terciptanya budaya pengelolaan sampah yang baik sehingga menyebabkan peningkatan jumlah volume sampah di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Sebelumnya telah terbit Perda Kota Yogyakarta No. 10 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah. Pada bagian ketiga, pasal 33 menyatakan bahwa setiap orang dilarang: mengelola sampah yang menyebabkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan; membakar sampah yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis pengelolaan sampah.
Hidup di Perumahan Pinggir Desa
Pada awal tahun 2000-an saya menempati perumahan di daerah Seyegan, Sleman, Yogyakarta. Perumahan tanpa pagar tembok keliling, di sisi utara, selatan, dan barat berbatasan dengan hamparan sawah membentang.Â
Persis di timur rumah yang saya tempati terdapat selokan cukup lebar-panjang (bermuara ke selokan Mataram), jalan aspal, dan deretan rumah penduduk desa.Â
Kesadaran terhadap pengelolaan sampah masyarakat desa ternyata masih sangat rendah. Mereka lebih milih membakar sampah atau membuangnya ke selokan.
"Lha uwuh neng selokan kan resik digawa banyu-lha sampah di selokan kan akan hilang terbawa air," jawab Mbah Kerto saat ditanya mengapa membuang sampah ke selokan.
Orang-orang desa tidak menyadari jika sampah bisa menghambat aliran air yang menyebabkan banjir. Mereka tampaknya mengabaikan iklan layanan sosial yang ditayangkan televisi menyangkut banjir yang disebabkan pembuangan sampah ke sungai/saluran air.
Sedihnya lagi, di sisi utara ada penduduk yang punya usaha pemotongan ayam dan setiap selepas subuh membuang limbah pemotongan ke selokan.
Jika musim kemarau, mereka tetap membuang dan menumpuk sampah ke selokan (yang mengering) untuk kemudian dibakar. Dalam kasus ini saya teringat salah satu peristiwa yang dialami warga Yogya.Â
Ia bercerita tentang pembakaran sampah yang biasa dilakukan oleh masyarakat, termasuk masyarakat DIY.Â
Padahal, dampak dari pembakaran sampah tidak baik karena asapnya menimbulkan efek tidak sehat, menyebabkan sesak napas, bau rumah menjadi tidak sedap, pakaian yang dijemur berbau asap, batuk-batuk, menggangu pernapasan, mengancam kesehatan balita dan lansia.Â
Ia pernah mencoba berbicara dengan tetangga yang membakar sampah, tapi jawabannya ada saja. Misalnya, pelaku membakar di pekarangannya sendiri, kalau ikut langganan pengambilan sampah mahal. Bahkan, sampai ditantang berkelahi hanya karena masalah sampah.
Meskipun pemerintah DIY mengeluarkan Perda baru No. 1 Tahun 2022 sebagai perubahan Perda No. 10 Tahun 2012, kenyataannya sebagian masyarakat di Yogyakarta, terutama di wilayah pedesaan masih saja dengan santai membakar sampah atau membuang sampah ke selokan/sungai tanpa rasa bersalah.Â
Agaknya sosialisasi kepada masyarakat mengenai pengelolaan sampah berdasarkan tanggung jawab, kesadaran, kebersamaan, dan kesehatan/keselamatan perlu terus digencarkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H