Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Perjalanan Menghayati Dunia Kreatif

22 Maret 2023   08:14 Diperbarui: 22 Maret 2023   08:18 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat memasuki bangku SLTP, aku bersama keluarga hijrah dari Kuala Tungkal, Jambi, ke Yogyakarta. Sebuah kota besar yang aku bayangkan sangat menyenangkan. Berbeda dengan Kuala Tungkal, kota kabupaten di pedalaman dengan segala keterbatasannya.

Suatu ketika, saat berada di kelas dua SMP, aku mengikuti lomba baca puisi mewakili kelompok pengajian anak-anak Bangirejo, meraih juara dua. 

Dunia kreatif terus mengikuti keberadaanku. Di bangku SLTA mengurusi majalah dinding sekolah, ikut vokal grup saat pertandingan antarkelas dilaksanakan, sesekali menulis puisi. 

Masuk ke perguruan tinggi terlibat mengurusi majalah dinding fakultas, bersama beberapa teman lain mendirikan Kelompok Pecinta Sastra Bulaksumur (KPSB), membentuk grup musik Watoni alias waton muni, ikut urun rembug penerbitan buletin Humanitas.

Terjun ke organisasi lewat KMSI (Keluarga Mahasiswa Sastra Indonesia) UGM, memenangkan lomba menulis artikel tingkat mahasiswa Fakultas Sastra dan Ilmu Kebudayaan (sekarang FIB) UGM, berpartisipasi dalam penerbitan antologi puisi mahasiswa (menulis beberapa puisi dan menulis kata pengantar), ikut pameran foto mahasiswa UGM, serta aktif menulis di berbagai media massa. 

Melalui beragam kegiatan itu, aku menyadari bahwa menjaga relasi, mempertahankan kemandirian, kredibilitas, dan membangun jaringan (network) menjadi bagian penting agar kita disukai dan dikenal orang lain.

Tahun 1990 aku mulai memasuki dunia kerja di salah satu lembaga pemerintah. Aku bekerja di kantor pusat yang berada di daerah. Semula aku merasakan bekerja di dunia yang "lurus-lurus" saja, tidak ada tantangan kreativitas karena hanya berurusan dengan pembinaan dan penelitian.  Aku  merasa menjadi katak dalam tempurung. 

Tahun 2007 saat salah satu karib menjadi orang nomor satu di lembaga itu, pelan-pelan aku mulai berusaha keluar dari tempurung dunia kepenelitian yang membelenggu. 

Pada saat bersamaan, aku intens menjaga jaringan dengan teman-teman (kuliah dulu) yang bergerak di bidang desain grafis. Begitulah, aku sering berada di halaman depan "Jentera" (rumah bagi teman-teman desain grafis), terkadang ngobrol di beranda, dan sesekali masuk ke ruang desain serta ke ruang rapat- membicarakan soal penerbitan majalah pariwisata, company profile beberapa perusahaan ternama, buku candi di Sleman, living museum Kotagede, profil museum DIY, koleksi museum Sonobudoyo, dan banyak lagi lainnya-semua memompakan lagi dunia kreativitas yang sempat terlelap di ranjang pembinaan dan penelitian. 

Aku lalu berpikir keras, bagaimana menghubungkan kantor lembaga pemerintahan dengan kemungkinan- kemungkinan kreatif yang sering kali menyergap pikiranku dalam konteks bagaimana caranya agar kantor pemerintah lebih dikenal masyarakat luas dan tidak mudah dilupakan orang.

Pergaulan dengan teman-teman desain grafis akhirnya mampu meracuni pikiranku dan menuruti dalil yang mereka anut bahwa kita akan "menjadi ada" dan "tidak mudah dilupakan" orang dengan cara membangun brand image. Hal sederhana dan mudah untuk dilakukan adalah dengan menciptakan desain identitas atau logo. 

Saran ini diam- diam aku wujudkan pada tahun 2012 lewat pembuatan sticker cutting. Kepada teman-teman desain grafis, aku menjelaskan keinginan tersebut dan menceritakan kepada mereka mengenai visi dan misi serta semangat di kantor aku bekerja. 

Hal ini aku lakukan agar mereka tidak salah dalam "menerjemahkan" desain logo yang aku harapkan dapat mewakili citra  sebagai lembaga yang bertanggung jawab dalam pengembangan, pembinaan,  penelitian kebahasaan dan kesastraan. 

Diskusi terus berlanjut di tengah perancangan dan pembuatan logo. Bagiku hal ini harus dikerjakan secara serius mengingat betapa pentingnya logo sebagai brand. 

Aku terkenang pernyataan Walter Landor (pendiri Landor Associates) bahwa brand yang sukses dapat membangun sebuah identitas yang mendekatkan institusi dengan masyarakat (relasi). Pengamat desain lainnya, Milton Glaser, lebih tegas menyatakan bahwa logo adalah pintu masuk, dicerminkan melalui sebuah brand.

Logo dapat mencerminkan wajah dan kepribadian sebuah entitas, untuk itu sudah seharusnya logo didesain secara matang (terencana). Lewat berbagai pertimbangan dan diskusi secara intens, akhirnya rancangan proof design logo dari teman-teman desain grafis terwujud sesuai dengan harapanku.

Logo itu divisualisasikan dari dua huruf B dengan warna biru dan satu huruf  Y dengan warna hijau muda. Warna biru dipilih karena merupakan warna "kebangsaan" lembaga yang kerap dipakai dalam kop surat, stopmap, dan blocknote dalam berbagai kegiatan. 

Tentu alasan yang sebenarnya tidak sesederhana itu karena bagi kebanyakan orang (termasuk aku), warna biru hadir sebagai warna yang memberikan signifikasi sesuatu yang penting dan sangat dipercaya, di samping memancarkan kebebasan, imajinasi, persahabatan, inspirasi, serta memberikan semangat. 

Di sisi lain, warna hijau merupakan warna sekunder yang tersusun dari percampuran antara kuning, biru, dan magenta; bermakna kehidupan, kesegaran, harmonisasi, serta pembaharuan. 

Dengan demikian, pemilihan warna biru dan hijau untuk logo itu dapat mencerminkan keberadaan kantor  sebagai lembaga pemerintah yang penting dan terpercaya, terbuka (bagi masyarakat luas), memberikan semangat, menggugah imajinasi dan inspirasi bagi siapa pun yang ingin mengembangkan dan membina hal-hal yang berkaitan dengan kebahasaan dan kesastraan. 

Huruf Y distilir menyerupai buku, diharapkan mampu mencerminkan sebagai  lembaga penelitian, menyediakan berbagai referensi, membuka cakrawala pengetahuan bagi siapa pun yang berkunjung. 

Persoalan lain muncul setelah logo tersebut jadi karena aku harus berjuang agar teman-teman penggerak kegiatan memakai logo tersebut sesuai dengan blue print yang ada. Kenyataannya tidak semua  bisa memahami pentingnya kehadiran logo sebagai brand image bagi sebuah entitas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun