Saat memasuki bangku SLTP, aku bersama keluarga hijrah dari Kuala Tungkal, Jambi, ke Yogyakarta. Sebuah kota besar yang aku bayangkan sangat menyenangkan. Berbeda dengan Kuala Tungkal, kota kabupaten di pedalaman dengan segala keterbatasannya.
Suatu ketika, saat berada di kelas dua SMP, aku mengikuti lomba baca puisi mewakili kelompok pengajian anak-anak Bangirejo, meraih juara dua.Â
Dunia kreatif terus mengikuti keberadaanku. Di bangku SLTA mengurusi majalah dinding sekolah, ikut vokal grup saat pertandingan antarkelas dilaksanakan, sesekali menulis puisi.Â
Masuk ke perguruan tinggi terlibat mengurusi majalah dinding fakultas, bersama beberapa teman lain mendirikan Kelompok Pecinta Sastra Bulaksumur (KPSB), membentuk grup musik Watoni alias waton muni, ikut urun rembug penerbitan buletin Humanitas.
Terjun ke organisasi lewat KMSI (Keluarga Mahasiswa Sastra Indonesia) UGM, memenangkan lomba menulis artikel tingkat mahasiswa Fakultas Sastra dan Ilmu Kebudayaan (sekarang FIB) UGM, berpartisipasi dalam penerbitan antologi puisi mahasiswa (menulis beberapa puisi dan menulis kata pengantar), ikut pameran foto mahasiswa UGM, serta aktif menulis di berbagai media massa.Â
Melalui beragam kegiatan itu, aku menyadari bahwa menjaga relasi, mempertahankan kemandirian, kredibilitas, dan membangun jaringan (network) menjadi bagian penting agar kita disukai dan dikenal orang lain.
Tahun 1990 aku mulai memasuki dunia kerja di salah satu lembaga pemerintah. Aku bekerja di kantor pusat yang berada di daerah. Semula aku merasakan bekerja di dunia yang "lurus-lurus" saja, tidak ada tantangan kreativitas karena hanya berurusan dengan pembinaan dan penelitian.  Aku  merasa menjadi katak dalam tempurung.Â
Tahun 2007 saat salah satu karib menjadi orang nomor satu di lembaga itu, pelan-pelan aku mulai berusaha keluar dari tempurung dunia kepenelitian yang membelenggu.Â
Pada saat bersamaan, aku intens menjaga jaringan dengan teman-teman (kuliah dulu) yang bergerak di bidang desain grafis. Begitulah, aku sering berada di halaman depan "Jentera" (rumah bagi teman-teman desain grafis), terkadang ngobrol di beranda, dan sesekali masuk ke ruang desain serta ke ruang rapat- membicarakan soal penerbitan majalah pariwisata, company profile beberapa perusahaan ternama, buku candi di Sleman, living museum Kotagede, profil museum DIY, koleksi museum Sonobudoyo, dan banyak lagi lainnya-semua memompakan lagi dunia kreativitas yang sempat terlelap di ranjang pembinaan dan penelitian.Â
Aku lalu berpikir keras, bagaimana menghubungkan kantor lembaga pemerintahan dengan kemungkinan- kemungkinan kreatif yang sering kali menyergap pikiranku dalam konteks bagaimana caranya agar kantor pemerintah lebih dikenal masyarakat luas dan tidak mudah dilupakan orang.
Pergaulan dengan teman-teman desain grafis akhirnya mampu meracuni pikiranku dan menuruti dalil yang mereka anut bahwa kita akan "menjadi ada" dan "tidak mudah dilupakan" orang dengan cara membangun brand image. Hal sederhana dan mudah untuk dilakukan adalah dengan menciptakan desain identitas atau logo.Â