Rubrik Silat Pena hadir pada awal tahun 1960-an, merupakan rubrik yang kehadirannya diperuntukan bagi pihak-pihak yang berpolemik atau mengemukakan pendapat singkat mengenai berbagai persoalan yang dianggap perlu ditegaskan atau diperdebatkan.Â
Sastra" (L.A. Sinaga). Dr. M. Jeuken membuat tulisan tersebut untuk menang- gapi tulisan J. Drost.
Rubrik Silat Pena (Basis, Oktober 1959), misalnya, berisi "Beberapa Catatan Mengenai Bumi dan Asal-Mulanya" (Dr. M. Jeuken) dan "PengajaranHadir dengan motto "Majalah Bulanan untuk Soal-soal Kebudayaan Umum", majalah Basis lebih menaruh perhatian pada esai-esai kebudayaan dan karya sastra berbentuk puisi.Â
Majalah ini pada mulanya merupakan majalah "khusus" sebagai corong budaya dan pemikiran umat Kristen/Katholik. Untuk itu beberapa artikel yang dimuat tidak lepas dari nuansa Kristen/Katholik, misalnya "Manakah Angkatan Sastrawan Kristen?" (Dick Hartoko, Basis, Oktober 1957).
Menjelang tahun 1970, majalah Basis mengubah orientasinya sebagai majalah kebudayaan umum.Â
Perubahan orientasi tersebut tentu saja melalui pertimbangan-pertimbangan "tertentu", termasuk dalam penetapan staf redaksi, isi majalah, dan target audience yang dijadikan sasaran.Â
Dalam perkembangannya, Basis juga memuat karya-karya penulis penganut agama lain (termasuk penganut agama Islam).
Dari awal penerbitannya majalah Basis kurang menaruh perhatian terhadap cerpen karena para pengayomnya lebih tertarik pada pemuatan puisi, beberapa di antaranya adalah "Tragedi" karya Yudha (Juli 1954), "Saat Yang Biasa Tiba" karya WS Rendra (Oktober 1954), dan "Tuhanku" karya A. Liem Sioe Siet (April 1955). Nama-nama penyair lain yang sering muncul adalah Th. Koendjana., R.G Siswantho, Trisnanto, dan Slametmuljana.  (Herry  Mardianto)
Rujukan: Sistem Penerbitan di Yogyakarta
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H