Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Majalah Basis: dari Kronik sampai Silat Pena

13 Maret 2023   06:22 Diperbarui: 13 Maret 2023   06:54 630
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penampilan majalah Basis awal/Foto: Hermard

Rubrik Silat Pena hadir pada awal tahun 1960-an, merupakan rubrik yang kehadirannya diperuntukan bagi pihak-pihak yang berpolemik atau mengemukakan pendapat singkat mengenai berbagai persoalan yang dianggap perlu ditegaskan atau diperdebatkan. 

Silat Pena/Foto: Hermard
Silat Pena/Foto: Hermard
Rubrik Silat Pena (Basis, Oktober 1959), misalnya, berisi "Beberapa Catatan Mengenai Bumi dan Asal-Mulanya" (Dr. M. Jeuken) dan "Pengajaran Sastra" (L.A. Sinaga). Dr. M. Jeuken membuat tulisan tersebut untuk menang- gapi tulisan J. Drost.

Hadir dengan motto "Majalah Bulanan untuk Soal-soal Kebudayaan Umum", majalah Basis lebih menaruh perhatian pada esai-esai kebudayaan dan karya sastra berbentuk puisi. 

Puisi Basis/Foto: Hermard
Puisi Basis/Foto: Hermard
Majalah ini pada mulanya merupakan majalah "khusus" sebagai corong budaya dan pemikiran umat Kristen/Katholik. Untuk itu beberapa artikel yang dimuat tidak lepas dari nuansa Kristen/Katholik, misalnya "Manakah Angkatan Sastrawan Kristen?" (Dick Hartoko, Basis,  Oktober 1957).

Menjelang tahun 1970, majalah Basis mengubah orientasinya sebagai majalah kebudayaan umum. 

Perubahan orientasi tersebut tentu saja melalui pertimbangan-pertimbangan "tertentu", termasuk dalam penetapan staf redaksi, isi majalah, dan target audience yang dijadikan sasaran. 

Ilustrasi Basis/Foto: Hermard
Ilustrasi Basis/Foto: Hermard
Dalam perkembangannya, Basis juga memuat karya-karya penulis penganut agama lain (termasuk penganut agama Islam).

Dari awal penerbitannya majalah Basis kurang menaruh perhatian terhadap cerpen karena para pengayomnya lebih tertarik pada pemuatan puisi, beberapa di antaranya adalah "Tragedi" karya Yudha (Juli 1954), "Saat Yang Biasa Tiba" karya WS Rendra (Oktober 1954), dan "Tuhanku" karya A. Liem Sioe Siet (April 1955). Nama-nama penyair lain yang sering muncul adalah Th. Koendjana., R.G Siswantho, Trisnanto, dan Slametmuljana.  (Herry  Mardianto)

Rujukan: Sistem Penerbitan di Yogyakarta

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun