Saat masih kanak-kanak, nyaris setiap hari melihat ayahnya, Â Usup, mencampur tembaga dengan timah panas sebagai bahan utama pembuatan gamelan. Hal itu dilakukan ayahnya sepulang bekerja di kantor Agraria, Sleman.Â
Telinga Agus terlatih mendengar suara dentangan tempaan peralatan gamelan setelah melalui proses mbesot (mencampur bahan) dan nyinggi (mencetak).
Saat ayahnya membabar atau menyetel suara peralatan gamelan, lelaki yang bersekolah di SD Margaagung 2, Sleman, baru merasa tenang dan  jatuh hati pada gamelan.
"Ini bagian yang nyengsemi karena saya merasa tenang, tentrem. Rasanya maknyes di dalam hati," jelas Agus mengenang masa lalunya.
Warisan gamelan membuat Agus terus setia ngurip-uripi gamelan. Meskipun peralatan musik tradisional itu selalu mengingatkan cerita masa lalu tentang kemarahan ibunya, Sa'diyah, saat ayahnya tidak membawa pulang uang gajian karena dihabiskan untuk membeli peralatan gamelan dan memborong kardus guna menyalurkan  hobi  membuat wayang.
Kelompok karawitan Arum Sari  tampil dalam pementasan wayang kulit, kethoprak, dan wayang wong thengul. Agus merasa kalau saat ini keberadaan karawitan perlu diperjuangkan dengan sungguh-sungguh.Â
Banyak generasi muda yang tidak bisa nggamel, nuthuk. Mereka lebih asyik nonton YouTube atau mendengarkan Sportify.
"Situasinya memang susah. Generasi muda banyak yang pergi ke kota  bekerja di pabrik. Sawah menjadi terlantar. Termasuk kesenian tradisional," keluh Agus sambil memandangi gamelan di depannya.
Meskipun rada mengeluh, tetapi bekas  pemeran piguran sebuah sinetron ini tetap semangat. Keinginannya terus berkobar agar generasi muda mencintai kesenian tradisional.Â
Rencananya, ia akan menggelar acara diskusi dua bulan ke depan untuk memotivasi  generasi muda agar cinta terhadap desa dan kearifan lokalnya.
mangkene iki rasane ati
roso risih suwe ora ditiliki
mas yo mas yo mas yo ben