Sepintas, tak ada hal istimewa melihat bangunan limasan lawas dengan empat tiang saka guru  penyangganya masih berdiri kokoh, pyan bambu  berjajar rapat  mengikuti arah genteng, beberapa usuk lawasnya  terlihat mulai keropos.Â
Dari luar, limasan tua di daerah Margokaton, Seyegan, Sleman, Yogyakarta, terkesan biasa saja. Meskipun begitu, ada sesuatu yang terasa istimewa saat kita melongok ke dalam.Â
Seperangkat gamelan  berupa saron panerus,  barung,  demung, bonang, gender, slentem,  gambang, ketuk, kenong, kempul, dan gong, tertata rapi dengan warna cat merah bersih sebagai penanda kalau itu merupakan gamelan baru. Â
Di bagian lain terdapat papan tulis tempo doeloe berwarna hitam dengan tulisan kapur berwarna. Tulisan berupa notasi gending sebagai petunjuk bagi penabuh gamelan dan sinden yang melantunkan  ladrang Rujak Jeruk.
karawitan yang aktif berlatih. Kami terus semangat, terlebih sudah mendapat bantuan gamelan dari Dinas Kebudayaan DIY," tutur Agus Suprihono, penggerak kelompok karawitan  Arum Sari (berdiri sejak tahun 2018).
"Ada dua puluhan anggotaWaktu pertama kali datang ke limasan ini, saya sempat menyaksikan seperangkat gamelan lain dengan warna memudar. Kini gamelan warisan keluarga itu diletakkan di bagian dalam rumah. Larasnya memang sudah agak meleset.
Jawa. Bukan tanpa alasan ia cinta mati terhadap kesenian tradisional karawitan.Â
Lelaki berusia enam puluhan tahun ini, dikenal juga sebagai sastrawanSejak kanak-kanak sudah terbiasa mendengar suara gamelan karena ayahnya merupakan salah satu pengrajin gamelan (pande) di Margokaton, Seyegan, Sleman.
Di samping itu, Agus kecil  ikut-ikutan membuat wayang kardus karena ayahnya  piawai menatah dan menggambar wayang.
Saat masih kanak-kanak, nyaris setiap hari melihat ayahnya, Â Usup, mencampur tembaga dengan timah panas sebagai bahan utama pembuatan gamelan. Hal itu dilakukan ayahnya sepulang bekerja di kantor Agraria, Sleman.Â
Telinga Agus terlatih mendengar suara dentangan tempaan peralatan gamelan setelah melalui proses mbesot (mencampur bahan) dan nyinggi (mencetak).
Saat ayahnya membabar atau menyetel suara peralatan gamelan, lelaki yang bersekolah di SD Margaagung 2, Sleman, baru merasa tenang dan  jatuh hati pada gamelan.
"Ini bagian yang nyengsemi karena saya merasa tenang, tentrem. Rasanya maknyes di dalam hati," jelas Agus mengenang masa lalunya.
Warisan gamelan membuat Agus terus setia ngurip-uripi gamelan. Meskipun peralatan musik tradisional itu selalu mengingatkan cerita masa lalu tentang kemarahan ibunya, Sa'diyah, saat ayahnya tidak membawa pulang uang gajian karena dihabiskan untuk membeli peralatan gamelan dan memborong kardus guna menyalurkan  hobi  membuat wayang.
Kelompok karawitan Arum Sari  tampil dalam pementasan wayang kulit, kethoprak, dan wayang wong thengul. Agus merasa kalau saat ini keberadaan karawitan perlu diperjuangkan dengan sungguh-sungguh.Â
Banyak generasi muda yang tidak bisa nggamel, nuthuk. Mereka lebih asyik nonton YouTube atau mendengarkan Sportify.
"Situasinya memang susah. Generasi muda banyak yang pergi ke kota  bekerja di pabrik. Sawah menjadi terlantar. Termasuk kesenian tradisional," keluh Agus sambil memandangi gamelan di depannya.
Meskipun rada mengeluh, tetapi bekas  pemeran piguran sebuah sinetron ini tetap semangat. Keinginannya terus berkobar agar generasi muda mencintai kesenian tradisional.Â
Rencananya, ia akan menggelar acara diskusi dua bulan ke depan untuk memotivasi  generasi muda agar cinta terhadap desa dan kearifan lokalnya.
mangkene iki rasane ati
roso risih suwe ora ditiliki
mas yo mas yo mas yo ben
Penggalan ladrang Rujak Jeruk itu kian terdengar samar oleh lagu Buih Jadi Permadani (Nabila Maharani) Â dan Lift Me Up (Rihanna) lewat kanal YuoTube.Â
Agus menghisap rokok kretek dalam-dalam sambil mengelus dada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H