Mohon tunggu...
Herry Dim
Herry Dim Mohon Tunggu... Seniman - Pekerja seni, penulis seni/kebudayaan, dan lingkungan hidup

Pekerja seni, lukis, drama, tata panggung teater, menciptakan wayang motekar. Pernah menulis di berbagai media serta berupa buku, aktif juga dalam gerakan-gerakan lingkungan hidup dan pertanian. Kini menjadi bagian dari organisasi Odesa Indonesia, dan sedang belajar lagi menulis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Catatan dari Obrolan dengan AD Pirous

6 April 2022   21:49 Diperbarui: 6 April 2022   22:31 940
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
"Gerabah Emas" 35 x 35 cm, media campuran, dan akrilik di atas kanvas. Salasatu karya A.D. Pirous, 2008. Gambar dari katalog "Di Atas Kaligrafi."

INI adalah catatan terlewatkan atau lumayan lama terimpan di dalam cakram keras (hard disk).

**

Pelukis senior Abdul Djalil Pirous atau Pak Pirous (demikian panggilan akrab saya kepadanya) menyelenggarakan pameran "Di Atas Kaligrafi" sepanjang Oktober 2021 -- Februari 2022, di Serambi Pirous, Bandung. 

Di antara sederet programa pameran tersebut adalah Undangan Tur Pameran, Selasa, 21 Desember 2021. Itu rupanya semacam undangan khusus yang dilaksanakan bertahap-tahap selama pameran demi pembatasan kunjungan mengingat statistik Pandemi Covid19 saat itu masih tinggi. 

Di dalam program simpatik tersebut antara lain adalah kesempatan keliling ruang pameran sambil mendengarkan penjelasan Bambang Sugiharto selaku kurator atau pun dari Pak Pirous sendiri atas serangkaian karya "Di Atas Kaligrafi."

Seusai keliling melihat-lihat karya, Pak Pirous bertanya: "Sudah pernah lihat studio tempat saya kerja?"

"Belum Pak Pirous," jawab saya.

"Ayo kita ke atas sana," ajak Pak Pirous.

Ajakan seniman ke tempat kerjanya, (setidaknya bagi saya) itu suatu kehormatan, sebuah kesempatan besar untuk mengenali kedalaman sekaligus perjalanan suatu karya mewujud, selebihnya dari itu adalah semacam ekspresi kedekatan, dan apalagi di ujung obrolan mendapat hadiah buku "A.D. Pirous" yang ditulis oleh Kenneth M. George dan Mamannoor. Maka, bukan saja girang tapi juga ada rasa bahagia ketika saya melangkah meniti anak tangga demi anak tangga mengikuti Pak Pirous.

Ruang kerja tersebut berada satu lantai di atas salasatu bagian galeri Serambi Pirous. Termasuk takbegitu luas/besar jika diukur dari kebesaran Pak Pirous sendiri. Dinding utaranya terdiri dari bingkai-bingkai kaca berukuran besar, sehingga ada ruang pandang ke arah bebukitan. Sebuah meja besar terhampar di sana. 

Melihat jejak barang-barang yang ada di sana, kiranya meja tersebut biasa juga menjadi tempat pertemuan selain "tempat kerja" yang bisa dilakukan di atas meja. 

Berbias cahaya alam dari bingkai-bingkai kaca, berjejer di sana beberapa karya trimatra buah tangan kerabat Pak Pirous. Diantaranya saya lihat karya Yetty Sutjihati Mikkelsen, teman seniwati yang kebetulan pernah sua bahkan "ngahiap" kami untuk bertandang ke rumah tinggalnya saat saya mengikuti pameran "Container '96: Art Across Oceans" di Kopenhagen.

Yang disebut sejatinya ruang kerja Pak Pirous, itu relatif lebih kecil lagi, kira-kira hanya sepertiganya saja dari keseluruhan ruang. Di sana berjejer taferil-taferil "in process" alias karya-karya yang masih berjalan pengerjaannya. Di sini terjadi beberapa perbincangan, ringkas, langsung saja ke intinya:

"Pak Pirous, bilamana mengerjakan karya-karya ini, dan berapa lama per hari bapak bekerja?" Tanya saya.

"Sekarang sih saya jaga-jaga kondisi, paling lama hanya dua jam saja untuk melukis," jawab Pak Pirous.

"Kapan dan bagaimana urut-urutannya dalam keseharian Pak Pirous bekerja?" Lanjut saya bertanya.

Pak Pirous bercerita, ia biasanya seusai subuh menyempatkan berjalan-jalan ringan serta menggerakan badan di pelataran serambi, setelah itu sarapan sambil ngobrol dengan keluarga. Usai itu semua barulah ia beranjak ke ruang kerja. "Tidak langsung kerja, kadang begitu lama membaca ulang segala apa yang telah tertera di kanvas," urainya. Yang disebutnya 'membaca ulang,' itu dikatakan takjarang menghabiskan keseluruhan waktu, "jadi, bisa saja sehari dalam waktu kerja saya itu hanya untuk melihat kembali apa yang telah saya lakukan," lanjut Pak Pirous.

Ia pun bercerita, manakala melakukan tahap awal lukisan-lukisannya itu tidaklah satu demi satu. Biasanya Pak Pirous memulai kerja dengan langsung menggarap beberapa taferil. Sambil mengingat-ingat semasa masih 'jagjag-waringkas,' ia mengenang bisa saja dulu itu langsung memulai dengan belasan taferil. 

Kelak, ketika menghampiri kembali di hari lain, sampailah pada tahap yang disebutnya membaca ulang. "Saat itulah," ujar Pak Pirous, "di antara yang sedang dilihat kembali tersebut ada yang seperti memanggil-panggil meminta untuk diteruskan. Yang memanggil itulah yang saya kerjakan. Tentu takjuga langsung selesai, melainkan demikianlah rotasi 'membaca ulang' terjadi kembali di hari berikutnya."

"Pak Pirous, di balik tanya saya di atas tadi, sesungguhnya yang saya ingin tahu itu bilamana Pak Pirous memulai kerja, atau dorongan apa dan seperti apa yang muncul sehingga Pak Pirous tergerak untuk kerja. Kemudian yang takkalah pentingnya, bilamana sebuah karya itu diputuskan atau dinyatakan oleh Pak Pirous sendiri bahwa telah selesai?" Tanya saya.

"Biasa-biasa saja, semuanya mengalir begitu saja, ya seperti yang saya ceritakan tadi," jawab Pak Pirous.

"Maaf, Pak Pirous, boleh kan saya mengatakan bahwa ada yang lebih dari sekadar biasa-biasa saja? Nah, apakah itu Pak Pirous?" Kejar saya.

Pak Pirous tercenung, lantas senyum dan menjawab: "Biasanya jika ada yang tanya seperti itu atau mendekati itu cukup saya jawab bahwa itu rahasia."

(sesungguhnya di antara ini masih ada obrolan 'malapah gedang,' namun di sini loncat saja)

"Mohon maaf Pak Pirous, izinkan saya sok tahu atau tepatnya berpendapat atas impresi karya-karya Pak Pirous, bahwa yang disebut rahasia oleh Pak Pirous itu taklain hadirnya atau adanya campur tangan ilahiah," kata saya.

Tampak Pak Pirous tercenung, kemudian menepuk atau tepatnya merangkul pundak saya. Sedikit beringsut mundur, mengangkat bingkai kacamata dengan tangan kiri, dan telunjuk serta jari tengahnya menyusut kelopak dan bagian mata.

Sayangnya, di pucuk perbincangan ini muncul serombongan anak muda, diantara mereka ada juga yang memanggul kamera. Mereka 'mengejar' hendak mewawancara Pak Pirous. Tapi, interupsi ini pun menguntungkan, mengingat saya sendiri kemudian menyadari bahwa tidak/belum siap atas penyataan saya sendiri tentang 'campur tangan ilahiah.'

**

SESUNGGUHNYA, saya ingin sekali melanjutkan obrolan yang terputus di atas. Yang paling saya inginkan adalah mendengar langsung uraian Pak Pirous atas impresi saya yang sok tahu itu, sekaligus demi menemukan apakah benar/tidak akan adanya campur tangan ilahiah.

Tapi, kiranya, semuanya berjalan di luar keinginan. Waktu terus berjalan. Singkat kisah, tibalah pada program lain Serambi Pirous yaitu pameran bersama "Bara Semula" yang pembukaannya berlangsung 26 Maret 2022. Artinya ada jarak waktu sekira 90 hari dari pertemuan 21 Desember 2021.

Ini pun semua berjalan tanpa rencana, tanpa ada keinginan menghubung-hubungkan dengan obrolan dan keingin tahuan di atas.

Singkat cerita, di tengah keramaian suasana pembukaan dan setelah berkeliling melihat karya-karya yang dipamerkan, saya 'amprok' dengan Pak Pirous dalam suasana yang sedikit memungkinkan untuk ngobrol. Saat itu saya ceritakan kejadian sebenarnya tentang bagaimana istri saya, Ine Arini, terpaku berlama-lama di depan karya sulaman buah tangan sang ibunda Pak Pirous. 

Atas 'pancingan' kejadian tersebut, selintas Pak Pirous pun sempat bercerita, bahwa itulah pekerjaan ibunya di masa lalu. Almarhumah, urai Pak Pirous, bahkan sempat membuat karya satu ruangan penuh. Namun, urainya, semua itu terbawa Tsunami Aceh 2004. "Yang terpajang di pameran ini adalah satu-satunya yang terselamatkan, karya yang memang saya simpan jauh hari sebelum tsunami terjadi," urai Pak Pirous.

Karya sulaman tersebut relatif kecil, sekira 25 x 25 cm saja, berupa sulaman motif flora dengan mayoritas menggunakan benang emas. Sesungguhnya tak hanya Ine yang terpaku di sana. Saya sendiri seperti 'dibimbing' untuk mengikuti alur-demi alur benang yang terangkai. Yang paling segera terasa adalah tingkat kesabaran. Sungguh takmungkin karya seperti itu bisa dikerjakan oleh orang yang tergesa-gesa. Maka spontan pula saya berkata: "Pak Pirous, rasa-rasanya ibu manakala mengejakan itu senantiasa sambil baca-baca dzikir misalnya."

"Ya, setidaknya ibu suka membacakan sifat 20," jawab Pak Pirous segera dan sesingkat itu, selebihnya adalah saling pandang tanpa kata-kata.

Sekadar demi memecah kebekuan, saya berkata ke istri: "Sifat 20 itu adalah sifat ilahiah yang seyogianya kita hapal."

"Wujud. Qidam. Baqa' dan seterusnya..." sambung Pak Pirous dan lagi-lagi hanya berakhir dengan saling pandang. Saat itulah segalanya serasa terhubung kembali dengan obrolan yang sempat terputus sekira 90 hari lalu. Ini pun takdipanjang-panjangkan kecuali diakhiri dengan saling membaur kembali dengan hadirin undangan pameran "Bara Semula," yaitu pameran untuk mengkhidmati usia 90 tahun Pak Pirous.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun