Atas 'pancingan' kejadian tersebut, selintas Pak Pirous pun sempat bercerita, bahwa itulah pekerjaan ibunya di masa lalu. Almarhumah, urai Pak Pirous, bahkan sempat membuat karya satu ruangan penuh. Namun, urainya, semua itu terbawa Tsunami Aceh 2004. "Yang terpajang di pameran ini adalah satu-satunya yang terselamatkan, karya yang memang saya simpan jauh hari sebelum tsunami terjadi," urai Pak Pirous.
Karya sulaman tersebut relatif kecil, sekira 25 x 25 cm saja, berupa sulaman motif flora dengan mayoritas menggunakan benang emas. Sesungguhnya tak hanya Ine yang terpaku di sana. Saya sendiri seperti 'dibimbing' untuk mengikuti alur-demi alur benang yang terangkai. Yang paling segera terasa adalah tingkat kesabaran. Sungguh takmungkin karya seperti itu bisa dikerjakan oleh orang yang tergesa-gesa. Maka spontan pula saya berkata: "Pak Pirous, rasa-rasanya ibu manakala mengejakan itu senantiasa sambil baca-baca dzikir misalnya."
"Ya, setidaknya ibu suka membacakan sifat 20," jawab Pak Pirous segera dan sesingkat itu, selebihnya adalah saling pandang tanpa kata-kata.
Sekadar demi memecah kebekuan, saya berkata ke istri: "Sifat 20 itu adalah sifat ilahiah yang seyogianya kita hapal."
"Wujud. Qidam. Baqa' dan seterusnya..." sambung Pak Pirous dan lagi-lagi hanya berakhir dengan saling pandang. Saat itulah segalanya serasa terhubung kembali dengan obrolan yang sempat terputus sekira 90 hari lalu. Ini pun takdipanjang-panjangkan kecuali diakhiri dengan saling membaur kembali dengan hadirin undangan pameran "Bara Semula," yaitu pameran untuk mengkhidmati usia 90 tahun Pak Pirous.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H