Setiap tahun sejak 1995, The Heritage Foundation, sebuah lembaga riset politik terkemuka di AS, didukung penerbit koran The Wall Street Journal, mempublikasikan Index of Economic Freedom. Filosofi pengukuran indeks ini mengikuti pandangan Adam Smith, ilmuwan ekonomi terkemuka asal Inggris, bahwa tatanan dasar yang melindungi kebebasan setiap orang untuk mengejar kepentingan ekonominya akan menghasilkan kesejahteraan yang lebih besar bagi masyarakat luas daripada perekonomian yang lebih banyak diatur oleh pemerintah.
Lebih tajam lagi, penyusun Indeks berpandangan bahwa kemakmuran yang bertahan lama adalah hasil dari komitmen yang terus menerus pada pemerintahan yang terbatas, hak milik perorangan yang kuat, keterbukaan pada perdagangan dan aliran finansial global, dan regulasi seperlunya.
Dengan mengukur dan mempublikasikan tingkat kebebasan ekonomi setiap negara relatif terhadap negara lain maka dapat diketahui apa yang kurang di negara itu dalam mencapai kemakmuran ekonomi yang lebih baik. Berdasarkan perhitungan the Heritage, negara-negara yang perekonomiannya maju memang menunjukkan indeks kebebasan ekonomi yang tinggi. Walaupun metodologi perhitungan indeks ini mendapat banyak kritikan, sehingga muncul pendekatan berbeda dari lembaga riset lain, namun Indeks Kebebasan Ekonomi yang dipublikasikan the Heritage cukup mendapat perhatian dari banyak pemerintah.
Indeks Kebebasan Ekonomi sebagaimana diukur the Heritage berfokus pada empat aspek ekonomi yang menjadi dominasi pemerintah, yaitu penegakan hukum, besaran (size) pemerintah, efisiensi pengaturan, dan keterbukaan pasar. Ada 10 komponen yang digunakan untuk mengukur ke empat aspek kebebasan ekonomi tersebut, yakni (1) kebebasan properti dan (2) kebebasan dari korupsi (aspek penegakan hukum), (3) kebebasan fiskal dan (4) belanja pemerintah (aspek besaran pemerintah), (5) kebebasan berusaha, (6) kebebasan bekerja dan (7) kebebasan moneter (aspek efisiensi pengaturan), serta (8) kebebasan berdagang, (9) kebebasan berinvestasi dan (10) kebebasan finansial (aspek keterbukaan ekonomi).
Kaitan antara masing-masing komponen dengan kebebasan ekonomi dapat dijelaskan sebagai berikut. Di setiap negara, orang harus bebas memiliki harta benda untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh sebab itu hak milik orang harus dilindungi dengan peraturan dan penegakan hukum yang adil dan independen. Untuk memiliki harta benda, orang harus mengupayakannya dengan jujur, tidak menyuap, menyalahgunakan kekuasaan atau memburu rente, yang mengurangi hak orang lain untuk mendapatkan penghasilan. Oleh karena itu meluasnya praktek korupsimengurangi kebebasan ekonomi warga negara.
Setiap warga negara harus membayar pajak agar pemerintah dapat menyediakan layanan seperti keamanan, transportasi, kesehatan, dan lain-lain. Namun pajak yang terlalu besar akan mengurangi kemampuan membayar seseorang. Oleh sebab itu, pemerintahan yang efisien adalah yang tidak memberi beban pajak yang besar kepada rakyat. Kebebasan ekonomi suatu negara lebih baik jika tingkat pajak tidak membebani orang dan perusahaan.
Semakin besar belanja negara, baik untuk belanja pegawai, belanja barang/modal atau untuk bantuan sosial semakin besar peran pemerintah dalam perekonomian. Namun campur tangan pemerintah yang terlalu besar dapat mengganggu perekonomian, karena cenderung kurang efisien atau bisa salah alokasi, dan membuat orang tidak bisa berusaha di sektor yang dikuasai pemerintah. Belanja pemerintah yang terlalu besar akan mengurangi kebebasan ekonomi warga negara.
Para pengusaha atau calon pengusaha seringkali menghadapi peraturan yang menyulitkan untuk mengembangkan usaha atau membuka usaha baru. Disamping prosedur yang rumit, pengurusan perijinan dapat memerlukan waktu yang panjang dan biaya yang besar. Adanya peraturan pemerintah demikian akan mengurangi kebebasan berusaha bagi warganya.
Setiap orang berhak memperoleh pekerjaan agar memperoleh penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup diri dan keluarganya. Hak bekerja ini seringkali terkendala oleh peraturan perburuhan seperti upah minimum regional, praktek berserikat yang merugikan pekerja, ketentuan PHK yang menyulitkan pengusaha, dan sebagainya. Adanya peraturan atau praktek perburuhan yang menyulitkan pekerja dan pengusaha dalam membuat pilihan yang setara akan menyebabkan ekonomi berjalan kurang efisien.
Pemerintah seringkali harus membuat kebijakan moneter untuk mengendalikan inflasi. Inflasi yang tinggi akan mengurangi kebebasan pengusaha dalam menyusun rencana usaha dan mengganggu kehidupan ekonomi orang banyak terutama mereka yang berpenghasilan tetap. Fluktuasi harga yang tidak terkendali menyebabkan orang tidak bebas melakukan kegiatan ekonomi.
Selanjutnya perekonomian yang efisien diyakini akan terwujud jika orang bebas berdagang, bebas menanamkan modalnya di sektor-sektor yang dikehendaki, dan bebas meminjam uang pada lembaga keuangan yang terpercaya. Namun seringkali pemerintah mengenakan tarif untuk menghambat masuknya beberapa barang impor yang menguntungkan sekelompok pengusaha tertentu, menetapkan daftar negatif investasi untuk melindungi sekelompok produsen tertentu, membuat peraturan perbankan untuk memberikan perlakuan berbeda kepada peminjam tertentu, dan sebagainya. Adanya hambatan berdagang, berinvestasi dan beraktivitas finansial yang tidak wajar seperti itu diyakini akan membuat perekonomian berjalan secara tidak lancar.
Berlandaskan konsep tersebut, penyusun Indeks Kebebasan Ekonomi mengumpulkan data dan informasi dari berbagai publikasi internasional dan nasional. Hasil akhir dari perhitungan ini adalah skor dan peringkat kebebasan ekonomi bagi setiap negara, yang kemudian digunakan untuk mengelompokkan setiap negara menurut kelas kebebasan ekonomi, yaitu mulai dari yang terbawah: “tertekan (dengan skor 0-49,9)”, “kurang bebas (50-59,9)”, “setengah bebas (60-69,9”, “cukup bebas (70-79,9)”, dan “bebas (80-100)”.
Posisi Indonesia
Menurut Economic Freedom Index 2016, yang menggunakan data dari pertengahan-2014 hingga pertengahan -2015, Indeks Kebebasan Ekonomi Indonesia menunjukkan skor 59,4 dan berada pada urutan ke-99 dari 178 negara. Dengan skor sebesar itu, Indonesia termasuk ke dalam kelas negara yang ekonominya “kurang bebas” (mostly unfree).
Dibandingkan dengan negara-negara tetangga, Indonesia hanya lebih baik dari Vietnam (ke-131), dan lebih buruk dari Singapura (ke-2), Malaysia (ke-29), Thailand (ke-67), dan Filipina (ke-70). Melihat lebih ke belakang, sejak 1995 hingga kini, posisi Indonesia tetap berada di bawah ke empat negara tetangga tersebut. Vietnam justru mengalami peningkatan yang signifikan, dari skor 41,7 (1995) menjadi 54 (2016) atau meningkat 12,3 poin; bandingkan Indonesia yang hanya meningkat 4,5 poin pada periode yang sama. Perlu dicatat bahwa Thailand mengalami kemunduran 7,4 poin pada periode yang sama.
Selanjutnya dibandingkan dengan skor kebebasan ekonomi tahun 2015, yang sebesar 58,5, tampak ada kenaikan sebesar 1,3 poin. Membaiknya kinerja kebebasan ekonomi Indonesia tersebut tentu tidak lepas dari upaya Presiden Jokowi dan Kabinetnya menata kembali berbagai peraturan yang menyebabkan perekonomian terkendala.
Kita ingat bahwa sejak awal masa pemerintahannya, Presiden Jokowi sudah ingin mengurangi waktu dan biaya dalam pengurusan perijinan, mengurangi subsidi BBM, mendorong swasta untuk berpartisipasi dalam pembangunan berbagai sektor, memodernisasi sektor finansial, meningkatkan persaingan di dalam negeri dan dengan luar negeri, dan lain-lain.
Namun pemerintah masih menghadapi banyak tantangan, mengingat masih rendahnya skor Indonesia dalam beberapa komponen kebebasan ekonomi. Beberapa komponen yang berada dalam kelas terbawah atau “tertekan” adalah kebebasan properti (30,0), kebebasan dari korupsi (34,0), kebebasan berinvestasi (40,0), dan kebebasan bekerja (49,3). Komponen lain yang juga masih rendah adalah kebebasan berusaha (54,0) dan kebebasan finansial (60,0). Sedangkan komponen lain yang setidak-tidaknya perlu dipertahankan posisinya adalah kebebasan moneter (74,3), kebebasan berdagang (80,4), kebebasan perpajakan (83,4) dan belanja pemerintah (89.0).
Perlu diperhatikan bahwa selama pertengahan 2014 hingga pertengahan 2015, yaitu kurun waktu penyusunan Indeks 2016, ada tiga komponen kebebasan ekonomi yang mengalami penurunan skor, yakni kebebasan moneter, belanja pemerintah, dan kebebasan berusaha.
Menurut the Heritage, ada beberapa hambatan dalam mewujudkan kebebasan ekonomi Indonesia, antara lain ketidakefisiensian dalam peradilan dan investasi, campur tangan birokrat yang mengganggu perekonomian, sektor informal yang masih besar, dan korupsi yang meluas. Kita berharap agar catatan tersebut dapat menjadi perhatian serius Presiden Jokowi beserta Kabinetnya.
Sebagai penutup, perlu diingat bahwa mendorong kebebasan ekonomi tidak ada hubungannya dengan paham ekonomi liberal. Kebebasan ekonomi harus didorong namun tetap harus diimbangi dengan pemberian perhatian yang besar pada kelompok-kelompok masyarakat yang karena kondisinya tidak atau belum dapat memanfaatkan kesempatan yang terbuka. Kemakmuran dan keadilan harus berjalan seiring melalui pengelolaan perekonomian yang cerdas dan kerja sama yang saling mendukung dan tidak saling menjatuhkan diantara berbagai komponen dalam masyarakat.
--o0o--
Sumber: 2016 Index of Economic Freedom (http://www.heritage.org)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H