Mohon tunggu...
Roni Bani
Roni Bani Mohon Tunggu... Guru - Guru SD

SD Inpres Nekmese Amarasi Selatan Kab Kupang NTT. Bahasa dan Kebudayaan masyarakat turut menjadi perhatian, membaca dan menulis seturut kenikmatan rasa.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Lampu Kuning untuk Pelestarian Bahasa Daerah

12 Maret 2024   18:20 Diperbarui: 12 Maret 2024   18:26 355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://voi.id/

Mula Kata

Ketika sedang gugling untuk membaca kabar-kabar dari berbagai media daring, saya mendapati dua media daring yang mencatat tentang bahasa daerah yang terancam punah. Judul pertama, Rapor Merah: Bahasa Daerah Akan Punah, dan kedua: 11 Bahasa Daerah sudah Punah, bahasa Jawa termasuk Rentan (1, 2).

Sangat disayangkan bahwa bahasa yang menjadi kekhasan suatu etnis terancam punah atau bahkan sudah punah. Betapa kita melenyapkan suatu komunitas budaya.

Bahasa Daerah Identitas Etnis

Seseorang sebagai individu di salah satu kota di Indonesia dapat berkata, "Saya menggunakan Bahasa Indonesia." Benarkah pernyataan individu itu?

Mungkin saja dapat dibenarkan karena ia akan ke pasar, lalu bercakap-cakap dengan penjual barang dengan dialog seperti ini:

"Berapa harga sayur ini, ibu? Aku akan membeli bila engkau memberitahukan harganya."

" ??? "

"Hei ibu, tidakkah engkau mendengar pertanyaanku? Aku sedang berbicara denganmu, ibu!"

" ??? "

"Lo nggak dengar, gue lagi ngomong ni! Gue lagi ngomong ama lo!"

"Gue dengar, lo ngomong ama gue, ... lo ngomong apa tadi? Rasanya gue nggak ngerti!"

Nah... coba simak baik-baik dialog itu.

Apakah kedua individu sebagai makhluk berbahasa sedang menggunakan Bahasa Indonesia, atau campuran bahasa yang memungkinkan segera ada komunikasi bersahutan?

Fakta menunjukkan keada kita bahwa berbicara secara informal berbeda dengan berbicara secara formal. Di dunia informal semisal bertemu di pasar, toko, pusat-pusat keramaian, adakah dialog yang menggunakan bahasa formal? Tidak! Individu yang saling bersua akan menggunakan bahasa percakapan informal yang mudah diterima dan dimengerti.

Ituah sebabnya orang patut dan pantas untuk tetap menggunakan bahasa daerah, sebab bahasa daerah itu merupakan bahasa ibu, bahasa yang ada di rumah, di dalam komunitas dan etnis. Bahasa yang demikian itu mudah diterima, dipahami dan saling berdialog secara nyaman dan aman.

Dalam suasana dan konteks yang informal adalah sangat baik bila orang menggunakan bahasa daerah. Bahwa bila satu komunitas menggunakan bahasa yang sama maka, dalam konteks yang formal sekalipun orang dapat menggunakan bahasa daerah.

Tengoklah Presiden NKRI, Ir. H. Joko Widodo yang sering menyisipkan istilah-istilah dalam bahasa daerahnya. Contohnya, ojo kesusu, dan lain-lain. (dapat dibaca di 3 )

Pada zaman Orde Baru, Soeharto pun sering menyisipkan istilah dalam Bahasa Jawa yang filosofis (4.) Hal ini hendak membuktikan bahwa para pemimpin bangsa sedang merindukan untuk melestarikan budaya khususnya bahasa daerah.

Setiap orang yang lahid di wilayah perkotaan yang heterogen dipastikan menggunakan "bahasa persatuan" ala masyarakat perkotaan. Tengoklah kota-kota di Nusa Tenggara Timur yang daerah asal mereka memiliki kurang lebih dari 70 bahasa. Bagaimana masyarakat perkotaan mulai dari ibukota di Kupang dan semua ibukota Kabupaten yang heterogen? Penduduk perkotaan akan menggunakan lingua franca, bahasa yang mudah diterima oleh semua kalangan dan etnis di perkotaan, sambil tiap etnis berusaha untuk tetap mempertahankan dan melestarikan bahasa daerah asalnya. Dapatkah itu terjadi?

Tidak dapat dipastikan! Mengapa? 

Jawabannya, mereka yang makin naik tingkat pendidikannya, mereka lebih suka menggunakan bahasa ilmiah dan standar daripada bahasa daerahnya. Malu! Cobalah gugling, Anda akan menemukan sejumlah artikel yang mengurai rasa malu pada kaum terdidik bila menggunakan bahasa daerah.

Di Indonesia nama marga dan klan menjadi penanda/identitas etnis. Orang dengan klan tertentu akan segera diketahui berasal dari etnis mana? Maka, bila ia tidak dapat berbahasa daerah dari etnis tersebut, kemungkinan yang ada yakni:

  • lahir di kampung sendiri, namun ketika melanjutkan pendidikan tingkat menengah dan seterusnya berdomisili di kota. lingua franca di kota memberi pengaruh sehingga lupa atau abai pada bahasa dareah dari mana ia berasal dan miliki/gunakan bahasa itu.
  • lahir di kota/tempat lain yang heterogen yang oleh karenanya kominitas massyarakat perkotaan menggunakan bahasa lingua franca, atau bahasa kriol 
  • malu menggunakan bahasa daerah karena telah mencapai jenjang pendidikan tertentu (misalnya bergelar SArjana dan seterusnya)

Orang-orang yang demikian jati dirinya mulai pudar. Mereka tidak dapat menyebut diri sebagai etnis tertentu. Misalnya, etnis Timor, tetapi tidak mampu menggunakan Bahasa Meto' versi Amanuban misalnya. Atau etnis Timor tetapi tidak dapat menggunakan Bahasa Meto'Amarasi Kotos atau Amarasi Roi'is misalnya, dan lain-lain bahasa daerah.

Betapa bahasa daerah mencirikah etnis sekaligus budaya.

Masyarakat perkotaan yang heterogen tidak dapat mengklaim budaya yang khas mereka, oleh karena ragam etnis di sana. Mencari untuk menemukan keseragaman budaya amatlah sulit pada masyarakat perkotaan. Satu yang dapat disamakan yakni bahasa pergaulan. Mereka tidak menggunakan bahasa standar (mis.Bahasa Indoenesia)

Penutup

Mari menggunakan bahasa daerah masing-masing sebagai kekhasan etnis.Pepatah kuno berkata, bahasa menunjukkan bangsa. Maka bahasa Meto' menunjukkan orang Meto'  di Pah Meto (Tana Timor) yang menggunakannya. Lii Hawu masyarakat Pulau Sabu pemilik dan penggunanya. Sejumlah bahasa di Rote seperti: Delha, Rikou, Loleh, Termanu, Dhao dan lainnya merupakan bahasa milik etnis dan komunitas di dalam pulau Rote; seterusnya bahasa-bahasa daerah yang hidup, dipergunakan oleh pemiliknya di seluruh wilayah kepulauan Nusa Tenggara Timur sebagai pemisalan

Menggunakan satu dua patah kata bahasa daerah dalam suatu percakapan walau dengan orang yang bukan se-bahasa tentu tidak salah. Berpidato dengan menyisipkan satu atau dua patah istilah dalam bahasa daerah sang orator, tentu tidak salah pula. Rasanya agak menjengkelkan dan membangkitkan rasa cemburu pada etnis dan komunitas pengguna bahasa daerah lainnya.

Hal menggunakan istilah berbahasa daerah dalam perakapan dan orasi, bukan tabu. Justru itu akan memperkaya Bahasa Nasional, bahasa persatuan bila terus menerus digunakan apalagi ditulis dan akhirnya diadopsi ke dalam bahasa resmi negara. Tidakkah pemilik bahasa daerah itu berbangga? 

Kebanggaan pada etnis tertentu bila satu atau lebih istilah, idiom diadopsi ke dalam bahasa nasional, baik sebagai bahasa standar maupun bahasa politik. Lihat dan bacalah, cawe-cawe, aku rapopo, plonga-plongo, sampurasun, dan lain-lain.

Semua itu memberi warna dan merupakan kekayaan khas bangsa ini bila terus digunakan. Oleh karena itu, bila kita malu menggunakan bahasa daerah, justru kitalah yang menjadi "pembunuh" bahasa daerah kita sendiri.

Umi Nii Baki-Koro'oto, 12 Maret 2023

Heronimus Bani ~ Pemulung Aksara

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun