Jawabannya, mereka yang makin naik tingkat pendidikannya, mereka lebih suka menggunakan bahasa ilmiah dan standar daripada bahasa daerahnya. Malu! Cobalah gugling, Anda akan menemukan sejumlah artikel yang mengurai rasa malu pada kaum terdidik bila menggunakan bahasa daerah.
Di Indonesia nama marga dan klan menjadi penanda/identitas etnis. Orang dengan klan tertentu akan segera diketahui berasal dari etnis mana? Maka, bila ia tidak dapat berbahasa daerah dari etnis tersebut, kemungkinan yang ada yakni:
- lahir di kampung sendiri, namun ketika melanjutkan pendidikan tingkat menengah dan seterusnya berdomisili di kota. lingua franca di kota memberi pengaruh sehingga lupa atau abai pada bahasa dareah dari mana ia berasal dan miliki/gunakan bahasa itu.
- lahir di kota/tempat lain yang heterogen yang oleh karenanya kominitas massyarakat perkotaan menggunakan bahasa lingua franca, atau bahasa kriolÂ
- malu menggunakan bahasa daerah karena telah mencapai jenjang pendidikan tertentu (misalnya bergelar SArjana dan seterusnya)
Orang-orang yang demikian jati dirinya mulai pudar. Mereka tidak dapat menyebut diri sebagai etnis tertentu. Misalnya, etnis Timor, tetapi tidak mampu menggunakan Bahasa Meto' versi Amanuban misalnya. Atau etnis Timor tetapi tidak dapat menggunakan Bahasa Meto'Amarasi Kotos atau Amarasi Roi'is misalnya, dan lain-lain bahasa daerah.
Betapa bahasa daerah mencirikah etnis sekaligus budaya.
Masyarakat perkotaan yang heterogen tidak dapat mengklaim budaya yang khas mereka, oleh karena ragam etnis di sana. Mencari untuk menemukan keseragaman budaya amatlah sulit pada masyarakat perkotaan. Satu yang dapat disamakan yakni bahasa pergaulan. Mereka tidak menggunakan bahasa standar (mis.Bahasa Indoenesia)
Penutup
Mari menggunakan bahasa daerah masing-masing sebagai kekhasan etnis.Pepatah kuno berkata, bahasa menunjukkan bangsa. Maka bahasa Meto' menunjukkan orang Meto' Â di Pah Meto (Tana Timor) yang menggunakannya. Lii Hawu masyarakat Pulau Sabu pemilik dan penggunanya. Sejumlah bahasa di Rote seperti: Delha, Rikou, Loleh, Termanu, Dhao dan lainnya merupakan bahasa milik etnis dan komunitas di dalam pulau Rote; seterusnya bahasa-bahasa daerah yang hidup, dipergunakan oleh pemiliknya di seluruh wilayah kepulauan Nusa Tenggara Timur sebagai pemisalan
Menggunakan satu dua patah kata bahasa daerah dalam suatu percakapan walau dengan orang yang bukan se-bahasa tentu tidak salah. Berpidato dengan menyisipkan satu atau dua patah istilah dalam bahasa daerah sang orator, tentu tidak salah pula. Rasanya agak menjengkelkan dan membangkitkan rasa cemburu pada etnis dan komunitas pengguna bahasa daerah lainnya.
Hal menggunakan istilah berbahasa daerah dalam perakapan dan orasi, bukan tabu. Justru itu akan memperkaya Bahasa Nasional, bahasa persatuan bila terus menerus digunakan apalagi ditulis dan akhirnya diadopsi ke dalam bahasa resmi negara. Tidakkah pemilik bahasa daerah itu berbangga?Â
Kebanggaan pada etnis tertentu bila satu atau lebih istilah, idiom diadopsi ke dalam bahasa nasional, baik sebagai bahasa standar maupun bahasa politik. Lihat dan bacalah, cawe-cawe, aku rapopo, plonga-plongo, sampurasun, dan lain-lain.
Semua itu memberi warna dan merupakan kekayaan khas bangsa ini bila terus digunakan. Oleh karena itu, bila kita malu menggunakan bahasa daerah, justru kitalah yang menjadi "pembunuh" bahasa daerah kita sendiri.