Catatan Perjalanan ke Pantar-Alor, seri kedua
Menyeberang ke Pulau PantarÂ
Rombongan dari Unit Bahasa dan Budaya Gereja Masehi Injili di Timor tiba di Dermaga Kalabahi pada Rabu (15/11/23) pukul 17.30 WITa. Rombongan dijemput 3 unit kendaraan. Rombongan dibagi ke dalam beberapa tim kecil menuju penginapan yang disediakan oleh satu tim yang sudah beberapa hari tiba di Kalabahi. Dominan tim-tim kecil ini akan bermalam di rumah para sahabat. Satu tim lagi sebanyak 7 orang yang menginap di salah satu homestay.Â
Homestay ini menyediakan beberapa kamar, dan 7 orang menempati 4 kamar. Pemilik homestay amat bersahabat dengan tetamu. Malam itu, seluruh anggota rombongan dikumpulkan di satu titik penginapan untuk santap malam bersama. Sesudah itu, masing-masing tim kembali ke penginapan.
Pagi tiba, Kamis (16/11/23), pada pukul 08.30 WITa tim-tim kembali bertemu pada satu titik keberangkatan. Menggunakan bus, rombongan menuju desa Alor Kecil. Satu pertimbangan anggota panitia yang mengatur penjemputan rombongan yakni, di dalam rombongan UBB GMIT ada di antaranya yang baru pertama kalinya turut serta merasakan jasa kapal motor di selat-selat kepulauan Alor.Â
Pada selat-selat yang akan dilayari terjadi pertemuan arus sehingga akan membuat trauma pada anggota rombongan. Menghindari dan mengurangi intensitas belah arus itulah, maka rombongan diarahkan ke Alor Timur. Rombongan akan berangkat dari sana, sekali pun kapal motor sedang berlabuh di Kalabahi.
Di bawah siraman terik matahari rombongan menunggu kapal motor yang sedang bergerak dari Kalabahi ke Alor Kecil. Sambil menunggu rombongan disuguhi makan siang.
Semuanya menikmati makan siang dengan hati gembira sambil menikmati pemandangan laut dan selat yang dihiasi pulau kecil di sekitarnya. Perahu-perahu kecil yang berlabuh di sana, diselingi suara motor di perahu yang pulang ke pulau kecil di sebelahnya ketika menjemput anak dari dari sekolah. Pemandangan menarik di sini.
Menariknya, harmoni kehidupan di Alor Kecil di mana antarpemeluk agama saling menghormati. Toleransi yang amat tinggi, penghargaan dan penghormatan kepada sesama pemeluk agama diprioritaskan agar persatuan dan persaudaraan tetap terjaga dan terpelihara.
"Kami semua di sini bersaudara walaupun kami berbeda dalam memeluk agama," demikian pernyataan seorang bapak ketika duduk bercerita sambil menikmati mamah campuran sirih-pinang-kapur.
Mamahan sirih-pinang-kapur sebagai suatu sikap tata krama dalam pergaulan. Mereka yang hidup dengan budaya ini akan saling berbagi sirih-pinang sebagai pasangan serasi.
Mereka akan mengunyah campuran itu dan diakhiri dengan kapur untuk menetralkan rasa sepat dari pinang dan pedis dari sirih, lalu mengubah warna kabut menjadi merah hingga merah hati cenderung hitam. Mamahan sirih-pinang-kapur membudaya pada masyarakat Indonesia pada umumnya. Itulah (mungkin) alasan mengapa orang menggunakan pendekatan meminang pada seorang gadis.
Kapal motor tiba, rombongan pun berpindah posisi ke dalamnya. Tiap anggota rombongan mengambil tempat duduk senyaman mungkin. Tidak ada pengumuman bagaimana cara menyelamatkan diri bila terjadi kecelakaan laut. Pelampung disiapkan oleh pemilik kapal. UBB GMIT pun menyediakan pelampung sebagai suatu tindakan kewaspadaan. Memperhitungkan segala kondisi oleh karena pertemuan arus di antara selat dan teluk yang akan dilayari itulah, maka kesiapsiagaan layak disikapi.
Rombongan berangkat. Hawa panas mengernyitkan mata. Goyangan kapal motor terasa nyaman bagi para penumpangnya. Sama sekali tidak ada indikasi gugup pada anggota rombongan yang untuk pertama kalinya menggunakan jasa angkutan laut seperti ini.Â
Pulau Alor dilewati, menuju pulau Pantar. Di depan sana ada beberapa pulau yang akan dilewati seperti Pulau Pura, Pulau Buaya, Pulau Padang Pulau Rusa dan akhirnya di kejauhan Pulau Lembata yang berada di depan Pulau Pantar. Kapal motor diarahkan ke kampung Balungada Nedabang desa Bandar Kecamatan Pantar.
Menurut anggota tim/panitia yang menjemput, biasanya kapal motor berlabuh di Kabir, dari sana menggunakan jasa angkutan darat pikap, untuk tiba di desa tujuan. Kali ini deengan memperhitungkan arus laut yang memungkinan rasa nyaman, maka kapal motor berlabuh di desa tujuan.
Rombongan tiba dengan selamat. Ketika tiba di sana, kapal melakukan suatu ritual menarik "berputar arah" seakan-akan akan kembali ke Kalabahi. Ada rasa dag dig dug pada sebahagian penumpang, bahwa perkiraan untuk tidak dapat berlabuh oleh karena dangkalnya tempat berlabuh atau sejenisnya, namun justru itulah cara mereka menyatakan rasa gembira telah didatangi oleh tamu-tamu, dan mereka pun menjadi terhormat.
Rombongan telah mendarat. Masyarakat (umat/jemaat) desa Bandar menjemput rombongan. Tua-muda, besar-kecil, anak-anak, para muda dan tetua. Mereka membantu rombongan membawa barang-barang bawaan melewati tembok pembatas bibir pantai dan daratan yang tingginya di atas 1,5 meter. Rupanya di balik tembok pembatas itu, sudah disiapkan acara penjemputan.Â
Sepasang bapak-ibu menggunakan alat musik menuntun rombongan di gang menuju tempat penjemputan sesungguhnya. Jaraknya lebih kurang 100 meter.
Di sana telah bersiap bapak kepala desa dan isterinya, ketua panitia dan regu penari yakni para muda/mudi. Kain tenun disematkan pada tiap anggota rombongan oleh Kepala Desa dan isterinya. Asumsi PA, ini penjemputan pertama.
Sesi kedua penjemputan didahului pengantar. Pendekatan yang dipakai yakni mengantar rombongan dengan tarian menuju sesi kedua penjemputan. Para muda menari di depan rombongan. Tarian menggunakan aksesori pedang dan gelang kaki berdering diiringi musik dari gong dan tambur yang ditabuh. Tarian penjemputan sebagai pendekatan ini mengantar rombongan tiba di penjemputan sesi kedua.
Pada sesi kedua penjemputan di sana telah bersiap regu penari massal yang disebut lego-lego. Pola lantai yang dimanfaatkan dalam Tarian Lego-lego sebagai tarian massal yakni pola setengah lingkaran dengan barisan depan kaum perempuan, barisan belakang kaum laki-laki. Sementara itu, pemain musik terdiri dari gong, tambur (2 jenis) dan moko (alat musik dari tembaga).Â
Mereka mulai menari. Pedang di tangan pemimpin tarian diserahkan kepada Prof. Dr. Charles Grimes, Ph.D untuk selanjutnya menjadi pemimpin. Kaum laki-laki dari rombongan bergabung ke dalam barisan laki-laki, kaum perempuan dari rombongan bergabung ke dalam barisan kaum perempuan. Tarian Lego-lego ini bergerak mengitari satu titik pusat (menggunakan pohon mangga). Pola mengitarinya ke arah kanan.Â
Tarian ini baru berakhir setelah penyair yang berdiri di antara dua barisan laki-laki dan perempuan memberi isyarat. Isyarat itu dalam bahasa syair yang dipahami oleh para penari lokal, dan mereka membisikkan kepada anggota rombongan untuk bersiap-siap. Akhirnya, semua melakukan satu loncatan ke atas sambil berteriak sebagai tanda tarian itu berakhir. Tepuk tangan, sorak sorai gempita menghiasi udara desa Bandar, di halaman gedung Gereja GMIT Jemaat Karmel Balungada Nedabang.
Setelah sapaan perkenalan dan doa. Rombongan menikmati minuman hangat: teh dan kopi serta makanan ringan olahan masyarakat desa seperti kripik pisang dan camilan khas kue rambut. Rombongan selanjutnya diatur dan diantar oleh anggota Panitia ke penginapan di rumah warga masyarakat/umat.
Satu hal menarik dan unik terlihat pada menara gedung gereja di tempat ini. Melalui suatu tanya-jawab dengan beberapa tokoh masyarakat, lahir satu tulisan yang PA tempatkan di sini.
Kebaktian Peluncuran Produk Tertulis Berbahasa Klamu
Jumat (17/11/23) antara pukul 08.00 - 10.00 seluruh warga masyarakat di dalam desa Bandar dan desa tetangga telah berkumpul dan bersiap-siap untuk mengikuti dan menikmati satu kegiatan yang merupakan peristiwa bersejarah bagi mereka di sana. Di desa Bandar ada komunitas Kristen dan Islam.Â
Mereka menyatu dalam persatuan karena kekerabatan antarmereka. Kegiatan ini dihadiri oleh semua komunitas: Kristen, Katolik dan Islam. Para tokoh agama turut menghadiri. Dominan dihadiri oleh para pendeta GMIT yang akan menjadi bagian penting dalam tata ibadah. Masyarakat/umat menunggu pejabat dari ibukota Kabupten Alor, Kalabahi. Pejabat ini dijemput di pelabuhan terdekat yakni di Kabir.
Pejabat yang mewakili Bupati Alor dan rombongan disambut tarian massal Lego-lego persis seperti yang dilakukan ketika rombongan UBB GMIT tiba. Menurut seorang tokoh masyarakat bernama Desius Lalang, pendekatan penyambutan seperti itu sudah menjadi budaya masyarakat Pulau Pantar dan masyarakat Kabupaten Alor pada umumnya. Luar biasa.Â
Kebaktian Peluncuran Injil Markus, Cerita Yusuf (Kejadian 37-50), dan Buku Lagu dimulai. Ketiga produk ini ditulis dalam Bahasa Klamu. Bahasa yang nyaris punah di Pantar. Bahasa yang berdampingan dengan Bahasa Teiwa, Bahasa Blagar dan beberapa bahasa lainnya di dalam pulau Pantar.Â
Tata ibadah disusun sedemikian rupa sehingga peserta kebaktian sungguh-sungguh fokus di dalamnya. Kidung pujian, pembacaan ayat kitab suci, khotbah semuanya dalam Bahasa Klamu. Khusus pada acara pemberkatan dan peluncuran ketiga produk tertulis, diawali tarian mengantar produk tertulis di hadapan para pelayan/pendeta. Mereka akan mendoakan sebelum diserahsebarluaskan kepada umat/masyarakaat untuk dimanfaatkan. Pdt. Nianen F.B.Jahapay, S.Th memimpin kebaktian dan doa pemberkatan. Catatan tentang hal ini PA tempatkan di sini dan di sini.
Seluruh rangkaian kegiatan ini diakhiri dengan sambutan-sambutan oleh Konsultan Ahli Bahasa, Prof. Dr. Charles Grimes, Ph.D, pejabat yang mewakili Bupati Alor, dan pejabat yang mewakili MS GMIT, Pdt. Nico Lumbakaana, M.Si.Teol.
Sementara itu, seorang ibu mewakili masyarakat/umat menyampaikan ungkapan rasa terima kasih kepada para pihak yang hadir pada peristiwa ini khususnya kepada institusi keagamaan MS GMIT & UBB GMIT serta Pemerintah Kabupaten Alor dan jajarannya hingga desa dan kelurahan serta masyarakat desa Bandar.
Mitos dan Cerita Unik Menarik
PA mendapat posisi penginapan pada rumah yang penghuninya seorang tokoh masyarakat yang sangat disegani dan dihormati. Rupanya ini menjadi suatu kehormatan dan kesempatan.
Saat senggang kepada PA, sang tokoh bercerita banyak hal walau suaranya tak terdengar jelas. Sang tokoh bernama Desius Lalang (76 tahun). Ia pernah menjabat sebagai Kepala Dusun dan anggota Majelis Jemaat di Karmel Balungada Nedabang dalam fungsi sebagai Penatua. Ia mengisahkan dua mitos.
Mitos tentang Gempa
Diceritakan bahwa pada zaman dahulu, di dasar bumi telah dipancangkan satu tiang besar. Tiang yang amat kokoh yang olehnya bumi tak dapat bergerak. Pada tiang itu ditambatkan seekor sapi (mungkin juga kerbau) jantan yang amat besar. Sapi (kerbau) itu diyakini sebagai penunggu bumi (pulau Pantar).Â
Segala musim dan waktu berlalu. Panas, dingin, hujan dan badai, hingga gelombang laut menyiram permukaan bumi Pantar. Semuanya berlangsung pada alur waktunya.
Pada alur waktu tertentu bumi Pantar bergoyang. Ketika bumi Pantar bergoyang, diasumsikan (atau diyakini) bahwa Sapi (kerbau) penunggu bumi yang menggoyang-goyang (geleng) kepalanya. Goyangan atau gelengan itu terjadi oleh karena ada bangsa semut yang masuk ke telinganya. Semakin banyak bangsa semut masuk ke lubang telinga sang penunggu bumi Pantar (sapi/kerbau), semakin kuat goyang/gelengnya.
Masyarakat penghuni bumi Pantar akan keluar berlarian dan saling berteriak memberi peringatan bahwa penunggu bumi Pantar (sapi/kerbau) yang ditambat sedang tidak mendapatkan nutrisi.
Ketika mereka saling berteriak memberi peringatan, penunggu bumi Pantar mendengar, pada saat itu bangsa semut yang ada di dalam lubang telinganya telah terlempar keluar dari tempat itu. Maka, gempa itu pun berhenti.Â
Anda percaya? Tentu saja ini mitos.
Nedabang, Kampung Naga
Leluhur penduduk Pulau Pantar baik yang mendiami perbukitan maupun area landai hingga pantai meyakini bahwa laut yang sedang membadai diakibatkan oleh amukan dewa laut bernama Neda.
Neda (naga) sebagai penunggu laut pada masa tertentu akan "mengamuk". Amukannya mengakibatkan badai di laut. Gelombang akan naik dan air laut akan naik memasuki pemukiman penduduk di pantai. Kapal-kapal yang berlayar akan ditenggelamkan dan para penumpangnya tak dapat diselamatkan.
Tanaman di ladang pun akan hancur dan gagal panen mengancam bila angin laut menghantam perladangan.Â
Ketika hal itu terjadi, penduduk akan berbondong-bondong ke pantai untuk memberikan sesajen kepada Neda. Sesajen itu berupa lima butir beras dan lima butir jagung dengan disertai lafal mantra-mantra.
Penduduk meyakini bahwa pada saat sesajen itu ditaburkan ke bibir pantai, sepasang Neda (suami-isteri) muncul. Keduanya mengambil sesajen itu setelah mendengar permohonan penduduk melalui mulut seseorang yang terpilih untuk menjadi jembatan informasi kepada Neda. Sesudah ritual itu, gelora laut,dan angin badai akan berhenti.
Anda percaya? Tentu saja ini mitos, bukan?
Moko keluar dari Gua
Moko sudah ada dalam pengetahuan masyarakat Nusa Tenggara Timur. Produk yang satu ini sebagai kebanggaan masyarakat NTT khususnya di Kabupaten Alor. Produk tembaga ini tak dapat diimitasikan menurut Desius Lalang (76 tahun). Lalu dari mana datangnya moko? Atau bagaimana mendatangkan moko ke Pulau Pantar dan Kabupaten Alor pada umumnya?
Desius Lalang menuturkan.
Dahulu kala, adalah seorang laki-laki paruh baya pergi ke hutan. Ia hendak mencari buruan. Ketika sampai pada satu titik tempat di mana terdapat gua, ia berdiri di sana mengira-ngira jika ada binatang buruan. Ia melihat ke dalam gua itu. Secara tidak sengaja ia melihat kemunculan moko dalam ukuran besar sedang dan kecil. Ia mengambil moko-moko itu dan menyusunnya di halaman gua. Sesudah "muntahan" moko dari gua itu berhenti, laki-laki itu menghitung. Ia mendapati jumlahnya mencapai 1000 moko.
Ia tak dapat membawa pulang semuanya. Ia melepas kain tenun yang dipakainya, merobek-robek dan menumpukkan robekan-robekan itu. Pada robekan yang ditimbun/ditumpuk itu ia kincingi. Timbunan robekan kain (perca) yang dikincingi itu kemudian ditempatkan pada tiap-tiap moko yang sebanyak 1000 unit itu. Ia pun pulang ke kampung.
Di dalam kampung ia mengambarkan bahwa ada "muntahan" gua berupa sebentuk barang yang mungkin akan bermanfaat bagi masyarakat. Mereka pun berbondong-bondong pergi ke tempat yang dimaksud. Di sana masing-masing orang membawa pulang moko menurut kemampuan panggul.
Anda percaya? Tentu saja ini mitos. Perlu riset untuk pembuktian karena boleh ada hipotesa bahwa moko sebagai barang dagangan pada masa lampau. Barang dagangan antarpulau dan benua, mungkin?
Sampai sekarang moko tak dapat diproduksi baik secara manual maupun pabrikan.
Moko dipakai sebagai alat musik yang ditabuh dengan tangan. Demikian pula dipergunakan sebagai bukti cinta pada upacara penyrahan mahar perkawinan.Â
Alat musik Tiba
Alat musik yang satu ini menarik dan unik, ada kemiripan bentuk dengan salah satu jenis alat musik pada masyarakat pedalaman bangsa Aborigin. Alat musik ini panjangnya mencapai kurang lebih 2 meter. Pada mulutnya ditempatkan alat resonansi yaitu kulit rusa (zaman ini bisa diganti dengan kulit kambing atau sapi). Cara memainkannya dengan ditepuk/ditabuh.
Pendekatan untuk mendapatkan tiba merupakan suatu cerita yang unik. Diceritakan oleh Desius Lalang dan diaminkan oleh pendengarnya (para orang tua yang ikut mendengar cerita berulang ini), bahwa pada masa lampau untuk mendapatkan alat musik yang terbuat dari kayu merah ini, dibutuhkan ilham/wahyu dalam mimpi. Ilham dalam mimpi itu ditunjukkan oleh Sang Ilahi yang tidak diketahui namanya, diduga sebagai roh terbaik dan mulia dari para leluhur.Â
Sang Ilahi itu memberi visi pada orang tertentu bahwa pada pohon kayu merah yang ditunjuk itulah boleh diambil untuk dijadikan alat musik. Bagaimana cara mengetahui bahwa batang pohon itu telah ada lubangnya? Pohon diilhamkan dalam mimpi ditepuk badannya. Bila tepukan itu terdengar bunyi denting, maka tebanglah pohon itu.
Pohon yang ditebang itu kemudian dipangkas dan dipotong pada batang besarnya. Pada teras batang ditemukan adanya lubang. Lubang itu kemudian akan diluluri dengan olahan akar pohon itu yang dikunyah. Olahan itu sebagai obat pelulur dan pelumas. Pelumas itulah yang melumatkan penghalang di dalam lubang batang pohon itu.Â
Selanjutnya mereka menggunakan alat pencungkil untuk mencungkil bagian penghalang itu sampai menembus ujung sebelahnya. Sesudah itu barulah dibentuk modelnya dan ditempatkan alat resonansi yang diikat sebagai tutupan.
Jadilan alat musik tiba.
Anda percaya cara mendapatkannya? Tentu saja itu mitos.
Tiba yang tinggal satu-satunya di rumah bapak Desius Lalang telah berumur lebih dari 100 tahun. Ia telah menjadi peninggalan bernilai pada masyarakat desa Bandar. Kulit rusa telah berkali-kali diganti. Tidak ada anggota masyarakat yang mampu membuat alat musik ini pada masa modern ini.Â
Balik ke Kupang menyinggahi Kalabahi
Sabtu (18/11/23) rombongan telah bersiap pada pukul 05.00 WITa di titik kumpul yang telah ditentukan. Bunyi sirene megaphone di tangan Kepala Dusun membangunkan seluruh penghuni desa Bandar khususnya di dalam wilayah dusun di mana Jemaat Karmel menghuninya. Masyarakat berbondong-bondong keluar dari rumah mereka. Ada yang menggunakan gerobak agar memudahkan angkutan barang menuju tempat keberangkatan. Rombongan menikmati minuman hangat telah disiapkan panitia. Doa dilantunkan oleh seorang anggota jemaat. Barang bawaan, rombongan dan pengantar menuju titik keberangkatan.
Kapal motor Malea telah berlabuh di sana semalam sebelumnya. Ini bukan jadwal berangkat baginya dari Bandar, tetapi sesungguhnya dari Kalabahi, namun demi melayani rombongan pemiliknya bersedia melayani atas permohonan panitia. Rombongan memasuki perut kapal dengan menaiki tangga yang disiapkan.
Ya, penuh kehati-hatian. Semua penumpang dan barang telah tiba di dalam perut kapal. Tali dilepas, motor/mesin dihidupkan, jangkar diangkut, "ritual" bagai tari lego-lego dilakukan oleh juru mudi sebanyak tiga kali sebelum berangkat.Â
Para pengantar terus melambai-lambaikan tangan. Seorang anak dan seorang lelaki paruh baya yang secara sengaja tetap berada di atas kapal meloncat, dan berenang ke darat.
Kapal motor itu meninggalkan Bandar, masyarakatnya yang saling berkerabat dan toleran pada perbedaan, serta umat yang telah menikmati suatu peristiwa bersejarah dan tetap berkesan di atas prasasti hati dan sebingkai marmer hitam yang ditandatangani oleh Dra. June Jacob, MA, Prof. Dr. Charles Grimes, Ph.D dan Pdt. Nico Lumbakaana, M.Si.Teol.
Pelayaran ke Kalabahi memakan waktu kurang lebih 3 jam. Rombongan yang berada di perut kapal terlihat gembira. Beberapa kali ada sesi pemotretan di bagian depan kapal. Suatu pemandangan yang menarik sekaligus memacu adrenalin. Kapal-kapal motor dalam ukuran tertentu saling-silang di perairan selat-selat yang dilayari untuk tiba ke tujuan masing-masing.
Ketika mendekati dermaga Kalabahi terlihat suatu pemandangan kurang nyaman. Permukaan air laut di Teluk Mutiara penuh sampah plastik.
Sangat disayangkan, masyarakat pengguna alur pelayaran laut, selat dan teluk kurang peduli pada kebersihan laut. Sampah plastik mengapung di sana yang membutuhkan perhatian semua pihak yang berkepentingan untuk menjaga kebersihan pantai dan laut, terlebih lagi di tempat itu ada pemeliharaan kerang mutiara.
Pada pelayaran kali ini PA berkesempatan bercerita dengan pemilik kapal. Cerita itu selanjutnya PA tempatkan di sini.
Kapal Motor Malea tiba di dermaga Kalabahi. Rombongan UBB GMIT terbagi dalam 2 kelompok. Kelompok pertama masih akan tinggal di Kalabahi untuk satu kepentingan. Rombongan kedua melanjutkan pelayaran ke Kupang.
Rombongan kedua menggunakan jasa angkutan sungai danau dan penyeberangan (ASDP) Feri (cepat) Bahari Express. Berangkat pukul 11.00 WITa dan tiba di Dermaga Tanjung Lontar Tenau Kupang pada pukul 17.30 WITa. Pelayaran yang mengesankan.
***
Catatan akhir:Â Perjalanan dan pelayaran kali ini mendapatkan catatan bernilai menurut PA. Kiranya catatan dalam artikel ini menjadi berharga pada pembacanya. Terima kasih.
Umi Nii Baki-Koro'oto, 19 November 2023
PA ~ Pemulung Aksara ~ Heronimus BaniÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H