Moko sudah ada dalam pengetahuan masyarakat Nusa Tenggara Timur. Produk yang satu ini sebagai kebanggaan masyarakat NTT khususnya di Kabupaten Alor. Produk tembaga ini tak dapat diimitasikan menurut Desius Lalang (76 tahun). Lalu dari mana datangnya moko? Atau bagaimana mendatangkan moko ke Pulau Pantar dan Kabupaten Alor pada umumnya?
Desius Lalang menuturkan.
Dahulu kala, adalah seorang laki-laki paruh baya pergi ke hutan. Ia hendak mencari buruan. Ketika sampai pada satu titik tempat di mana terdapat gua, ia berdiri di sana mengira-ngira jika ada binatang buruan. Ia melihat ke dalam gua itu. Secara tidak sengaja ia melihat kemunculan moko dalam ukuran besar sedang dan kecil. Ia mengambil moko-moko itu dan menyusunnya di halaman gua. Sesudah "muntahan" moko dari gua itu berhenti, laki-laki itu menghitung. Ia mendapati jumlahnya mencapai 1000 moko.
Ia tak dapat membawa pulang semuanya. Ia melepas kain tenun yang dipakainya, merobek-robek dan menumpukkan robekan-robekan itu. Pada robekan yang ditimbun/ditumpuk itu ia kincingi. Timbunan robekan kain (perca) yang dikincingi itu kemudian ditempatkan pada tiap-tiap moko yang sebanyak 1000 unit itu. Ia pun pulang ke kampung.
Di dalam kampung ia mengambarkan bahwa ada "muntahan" gua berupa sebentuk barang yang mungkin akan bermanfaat bagi masyarakat. Mereka pun berbondong-bondong pergi ke tempat yang dimaksud. Di sana masing-masing orang membawa pulang moko menurut kemampuan panggul.
Anda percaya? Tentu saja ini mitos. Perlu riset untuk pembuktian karena boleh ada hipotesa bahwa moko sebagai barang dagangan pada masa lampau. Barang dagangan antarpulau dan benua, mungkin?
Sampai sekarang moko tak dapat diproduksi baik secara manual maupun pabrikan.
Moko dipakai sebagai alat musik yang ditabuh dengan tangan. Demikian pula dipergunakan sebagai bukti cinta pada upacara penyrahan mahar perkawinan.Â
Alat musik Tiba