Mohon tunggu...
Roni Bani
Roni Bani Mohon Tunggu... Guru - Guru SD

SD Inpres Nekmese Amarasi Selatan Kab Kupang NTT. Bahasa dan Kebudayaan masyarakat turut menjadi perhatian, membaca dan menulis seturut kenikmatan rasa.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ada Apa dengan Perempuan dan Bahasa Daerah di Indonesia?

13 Januari 2023   11:23 Diperbarui: 13 Januari 2023   11:30 624
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Tangkapan Layar Kompas TV (12/01/23) Roni Bani

Pengantar

Ketua Umum (Ketum) PDI-Perjuangan, Megawati Soekarnoputri dalam pidato politik jubelium partainya, ia berkali-kali menyoroti kaum perempuan. Sorotan Sang Ketum berkaitan dengan peranan perempuan pada segala zaman. 

"Kenapa kaum perempuan kita tidak seperti zaman dulu, ketika masa perjuangan? Saya sendiri bingung. Apa salahnya? Apa salahnya?  ... Kaum perempuan itu harus maju bersama. Ini abad modern, abad modern. ... ."

Sang Ketum PDI-Perjuangan banyak menyebut nama tokoh perempuan terkemuka pada zamannya.  Ratu Sima, Ken Dedes, Gayatri, Rajapatni, Tribuana Tungga Dewi, Laksamana Malahayati, Cut Nyak Dhien, Cut Meutia, Kartini, Sartika, Rasuna Said, Martha Tiahahu, Ratu Elisabeth, Margret Thatcher, hingga ke masa lampau di Mesir, tokoh perempuan Cleopatra. Sebegitu banyaknya tokoh perempuan yang disebutkan dalam pidato ini menimbulkan persepsi dan spekulasi politik pada pengamat dan praktisi politik. Diskusi dibangun untuk membahas pidato Sang Ketum dari berbagia sudut pandang. 

Lalu kita perlu bertanya, ada apa dengan perempuan sehingga seakan menjadi sorotan utama pada pidato politik Sang Ketum PDI-Perjuangan kali ini?

Membaca gestur dan isi pidato yang menyoroti kaum perempuan tanpa mengabaikan aspek lainnya dari kehidupan berbangsa dan bernengara, rasanya Sang Ketum hendak menggiring opini dan wacana publik pada perempuan di Indonesianpada umumnya, dan khususnya sosok-sosok perempuan tertentu untuk mendapatkan atensi. Atensi itu diharapkan datang pertama-tama dari kalangan perempuan sendiri, dan kedua dari kaum laki-laki.

Perhatikan ketika Sang Ketum menyebut dan menunjuk Menko PMK, Muhadjir Effendi dan Menlu Retno Marsudi. Terasa keseimbangan kode pesan keras pensejajaran laki-laki dan perempuan. 

Satu pidato yang menarik diselingi bahasa daerah (Jawa) yang dipahami hanya oleh pengguna bahasa daerah itu. Sementara publik pengguna bahasa daerah lainnya, "melongo" saja, walau harus diakui bahwa menggunakan bahasa daerah dalam pidato itu pun telah memberi isyarat kuat dan keras bahwa bahasa daerah patut dilestarikan. Salah satu caranya yakni digunakan, bahkan dalam pidato formal.

 

Perempuan

Kita tidak dapat menyangkali bahwa Sang Khalik Ilahi menciptakan laki-laki dan perempuan dalam kedudukan yang sejajar. Kitab suci melukiskan dan menguraikan secara jelas kepada umat manusia tentang penciptaan Adam dan (Siti) Hawa sebagai ciptaan istimewa. Keistimewaan itu terlihat dari pendekatan penciptaan itu yakni, Sang Khalik Ilahi menggunakan media contoh (Diri-Nya), bahan/material, proses kerja/rekayasa, terlihat hasilnya, hingga memberi kehidupan pada ciptaan itu. Laki-laki. Itulah mahakarya dari Sang Khalik Ilahi. 

Lalu, Sang Khalik Ilahi memandang perlu menempatkan satu sosok lain yang sejajar. Pendekatan yang sama digunakan, bahan/materialnya diambil dari ciptaan pertama (laki-laki), proses kerja/rekayasa, hingga memberi kehidupan padanya. Perempuan. Itulah mahakarya dari Sang Khalik Ilahi. Keduanya terlihat berkemiripan, berbeda dalam kodrat, tetapi ada kesejajaran dalam kedudukan di hadapan Sang Khalik Ilahi yang mengkreasikan keduanya.

 Dalam hal penciptaan perempuan yang bahan/material diambil dari bagian tubuh ciptaan pertama, laki-laki, mengindikasikan secara jelas bahwa ciptaan berikutnya yang disebut perempuan berasal dari laki-laki yang oleh karenanya ia tidak dapat dianalogikan sebagia sub-ordinat laki-laki. Jika ia sub-ordinat, tentulah laki-laki itu yang menempatkan dirinya sendiri pada posisi itu. Maka, laki-laki dan perempuan sesungguhnya dua wujud yang berbeda kodrat, tetapi sejajar kedudukan.

Buya Hamka  (2020) Berbicara tentang Perempuan. Pada satu bagian dari buku ini, Buya menguraikan dua ayat at-Taubah: 71-72 yang terjemahannya sebagai berikut:

"Dan orang-0rang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) yang ma'ruf  dan mencegah dari yang mungkar, melaksanakan shalat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah. Sungguh Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana. Allah menjanjikan kepada orang Mukmin laki-laki dan perempuan (akan mendapat) surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai mereka kekal di dalamnya dan (mendapat ) tempat yang baik di dalam surga Adn. Dan keridhaan Allah lebih besar. Itulah kemenangan yang agung. 

Buya Hamka menjelaskan, apabila kita pandang ayat-ayat ini dari segala seginya niscaya akan kelihatan bahwa kedudukan perempuan mendapat jaminan yang tinggi dan mulia. Terang dan nyata kesamaan tugasnya dengan laki-laki.  Sama-sama memikul kewajiban dan sama-sama mendapat hak. Pahit dan manis beragama sama-sama ditanggungkan. Jadi, Buya Hamka hendak menyebutkan bahwa laki-laki dan perempuan sejajar. 

Kitab Kejadian 1:27 berbunyi, "Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia;, laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka."

Ayat kitab suci ini menegaskan kesederajatan laki-laki dan perempuan. Keduanya merupakan "gambar" Allah yang mewujud nyata. Keduanya dapat dibedakan pada jenis kelamin dan kodrat yang ditempatkan, tetapi tetap sederajat dalam kedudukan kehidupan. Tidak ada yang lebih rendah dan lebih tinggi.

Sejarah lisan dan tulisan di berbagai negara dan bangsa tentu mencatat tokoh-tokoh perempuan dan peranan yang dimainkannya di pentas bangsa dan negera masing-masing. Peranan tokoh-tokoh perempuan pada zaman mana pun di negara mana pun tentu berangkat dari situasi tertentu yang "memaksa" perempuan untuk menjadi yang terdepan, memimpin, membimbing, menyemangati hingga membawa kelompok, komunitas, suku bangsa dan bangsa sampai pada titik sukses.

Perempuan tak dapat dianggap manusia kelas dua, sesudah laki-laki. Di Indonesia, belenggu patriakh pada kalangan masyarakat menjadi salah satu hal yang mengganggu kesetaraan (sumber) Padahal, kita mengetahui bahwa perjuangan untuk mencapai kesetaraan yang dikaryakan secara luar biasa oleh RA Kartini, telah "mengeluarkan" perempuan dari lingkaran budaya hingga menempatkannya sejajar dengan kaum laki-laki.

Beberapa produk hukum (UU) telah secara jelas tersurat bahwa kaum perempuan mendapat jatah 30% keterwakilan pada lembaga legislatif dan keanggotaan partai. Hal ini berdampak pada berbagai bidang profesi lainnya. Mungkinkah produk-produk hukum itu telah tercapai? Tidaklah selalu demikian karena dominasi kaum laki-laki masih kuat, sekalipun ada pada mereka kesadaran tetnag kesejajaran/kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Mungkin di sinilah masalahnya sehingga Ketum PDI Perjuangan bersuara lantang dalam hal ini.

Lihatlah di berbagai media yang menyodorkan kepopuleran dan karya dari tokoh perempuan di Indonesia dan dunia. Berbagai media daring mencatat tokoh-tokoh perempuan dengan karya-karya yang luar biasa. Karya yang mengangkat martabat perempuan yang pada saat yang sama menaikkan martabat bangsa dan negara. (satu, dua, tiga, empat)

Bahasa Daerah

Bahasa menunjukkan bangsa. Kira-kira demikian kata pepatah. Bila mengacu pada kata pepatah ini, maka ketika orang berbicara dalam Bahasa Indonesia, orang segera mengetahui bahwa orang yang berbicara itu orang Indonesia. Ketika seseorang berbicara dalam bahasa Sunda, orang segera menyebut asal dari orang itu yakni Sunda. Seseorang berbicara dalam bahasa Timor, orang pun segera menyebut, dia datang dari Timor. Ya. Bahasa yang dipakai mencitrakan jati diri penggunanya, tetapi bila pengguna bahasa itu bukan berasal dari daerah itu, bagaimana mengatakannya? Seseorang lahir di Timor, tetapi lancar berbahasa Indonesia dan menguasai bahasa asing ( misalnya, Bahasa Inggris). Lantas, bila ia lebih suka menggunakan Bahasa Indonesia yang diselipi istilah-istilah asing dalam bahasa Inggris, bagaimana menilai orang ini? Seseorang lancar berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Ketika berbicara ia menyelipkan istilah-istilah dalam bahasa dari daerahnya dan juga istilah-istilah dalam bahasa asing (Jerman atau Inggris), bagaimana menilainya?

Penggunaan bahasa asing dan bahasa daerah dalam acara formal (pidato, khotbah, ceramah, seminar, konferensi, dll), bukanlah sesuatu yang tabu, diabaikan atau dilarang. Hal ini baik adanya untuk memperkaya perbendaharaan kata dalam bahasa nasional, bahasa pemersatu bangsa.

Kedudukan bahasa Indonesia bagi bangsa Indonesia sebagaimana diikrarkan oleh para pemuda pada 28 Oktober 1928, di sana tidak mengklain secara harga mati. Pernyataannya jelas, menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia. Hal berbeda dengan dua pernyataan/ikrar sebelumnya, mengaku ... . 

Dalam hal menjunjung bahasa persatuan, tersirat maksud tetap melestarikan bahasa daerah masing-masing. Bahasa daerahyang hidup dan berkembang, digunakan oleh pemiliknya di suatu daerah, wilayah, dan pulau tidak serta merta diabaikan manakala bahasa persatuan dipelajari dan digunakan. 

Bahasa Indonesia menjadi bahasa yang menjembatani persatuan  bahasa daerah dan suku bangsa di Indonesia. Kemajemukan di Indonesia mesti dijembatani. Bahasa daerah bukanlah pengganggu bahasa persatuan dan bahasa pemersatu bangsa. Bahasa daerah justru digunakan untuk memperkaya bahasa persatuan dan bahasa pemersatu itu.

sumber: https://www.inews.id/ 
sumber: https://www.inews.id/ 

Bila kita memahami hal ini, penggunaan bahasa daerah pada forum-forum resmi yang tidak dilarang, tidak berarti prosentasenya melebihi penggunaan diksi dalam bahasa persatuan dan bahasa pemersatu bangsa. Apakah penggunaan istilah-istilah dari bahasa daerah atau bahasa asing dalam prosesntase yang cukup akan menaikkan tensi penghormatan kepada penggunanya? Tidak selalu demikian. Penggunaan istilah yang bersumber dari bahasa daerah atau bahasa asing, tentulah hal itu terjadi oleh karena "kekurangan" diksi dari bahasa Indonesia yang sedang dipakai. Jadi, kekurangan ini "ditambal dan ditambah" oleh bahasa lain, termasuk bahasa daerah.

Dalam sistem organisasi dan tata kerja Kementerian Pendidikan Kebudayaan, Riset dan Teknologi, di sana ada lebih dari satu badan yang menatakelola bahasa. Kantor Bahasa, Pusat Bahasa, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Tiga di antara institusi ini mungkin terasa lebih dari cukup untuk mengadakan riset bahasa-bahasa daerah di Indonesia. Kita pun mengetahui bahwa di sana terdapat juga non goverment organization (NGO) yang memperhatikan bahasa daerah, yang oleh karenya mereka melakukan dokumentasi dan riset bahasa. Semua kebijakan dan langkah karya ditujukan untuk memelihara bahasa daerah baik lisan maupun tulisan.

 

Penutup

Jika bertanya sebagaimana yang terdapat pada judul tulisan ini, ada apa dengan perempuan dan bahasa daerah di Indonesia? Kita masih akan terus mencari informasi melalui berbagai literatur dan artikel populer di media arus utama tertulis, televisi, media daring dan lain-lainnya.

Forum-forum diskusi pada jenjang atau level mana pun yang membahas kesetaraan gender (laki-laki dan perempuan), tak akan segera menghapus "belenggu patriakh" walau di sana ada kesadaran bahwa emansipasi telah berlangsung dan sedang terus berjalan dalam implementasinya. Seberapa besar kualitas kesetaraan itu? Mungkin inilah salah satu point persoalan yang disorot oleh Ketum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri. Secara kuantitas, 30% ketewakilan perempuan dalam pada berbagai lembaga, institusi, badan dan lain-lainnya, telah tercapai? Hal yang satu ini pun menjadi point persoalan.

Perempuan, masih akan terus menjadi topik pembahasan yang menarik pada segala zaman. Perempuan dalam kondratnya yang priroritas yakni mengandung, melahirkan, mengasuh anak; dan juga dalam kedudukan karya yang non domestik tetapi keluar dari area itu. Kita masih membutuhkan waktu untuk mencapai titik kesadaran secara utuh dan sempurna tentang kesetaraan itu sambil menyatakan bahwa kodrat tetap berbeda.

Pada sisi lain, bahasa sebagai alat komunikasi lisan dan tertulis tiada dapat diabaikan. Bahasa yang terujar ketika berada di lingkungan rumah, komunitas dan suku bangsa, tentulah bukan melompatinya untuk langsung tiba pada penggunaan Bahasa Indonesia, apalagi bahasa asing (Inggris, Jerman, Mandarin,  dll). 

Bahasa daerah menjadi bahasa pertama (B1/L1); bahasa nasional sebagai bahasa pemersatu bangsa (B2/L2); dan bahasa asing yang digunakan untuk komunikasi dengan bangsa lain telah disepakati secara internasional untuk menggunakan Bahasa Inggris (B3/L3). Faktanya, tidak semua pemimpin dari negara akan segera menggunakan Bahasa Inggris dalam forum-forum resmi. Mereka masih menggunakan bahasa nasionalnya dengan memanfaatkan penerjemah.

Jika demikian, kita perlu memelihara dan melestarikan bahasa daerah agar memperkaya bahasa nasional, bahasa persatuan bangsa.

Terima kasih.

Nekmese-Amarasi Selatan, 13 Januari 2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun