Pengantar
Ketua Umum (Ketum) PDI-Perjuangan, Megawati Soekarnoputri dalam pidato politik jubelium partainya, ia berkali-kali menyoroti kaum perempuan. Sorotan Sang Ketum berkaitan dengan peranan perempuan pada segala zaman.Â
"Kenapa kaum perempuan kita tidak seperti zaman dulu, ketika masa perjuangan? Saya sendiri bingung. Apa salahnya? Apa salahnya? Â ... Kaum perempuan itu harus maju bersama. Ini abad modern, abad modern. ... ."
Sang Ketum PDI-Perjuangan banyak menyebut nama tokoh perempuan terkemuka pada zamannya. Â Ratu Sima, Ken Dedes, Gayatri, Rajapatni, Tribuana Tungga Dewi, Laksamana Malahayati, Cut Nyak Dhien, Cut Meutia, Kartini, Sartika, Rasuna Said, Martha Tiahahu, Ratu Elisabeth, Margret Thatcher, hingga ke masa lampau di Mesir, tokoh perempuan Cleopatra. Sebegitu banyaknya tokoh perempuan yang disebutkan dalam pidato ini menimbulkan persepsi dan spekulasi politik pada pengamat dan praktisi politik. Diskusi dibangun untuk membahas pidato Sang Ketum dari berbagia sudut pandang.Â
Lalu kita perlu bertanya, ada apa dengan perempuan sehingga seakan menjadi sorotan utama pada pidato politik Sang Ketum PDI-Perjuangan kali ini?
Membaca gestur dan isi pidato yang menyoroti kaum perempuan tanpa mengabaikan aspek lainnya dari kehidupan berbangsa dan bernengara, rasanya Sang Ketum hendak menggiring opini dan wacana publik pada perempuan di Indonesianpada umumnya, dan khususnya sosok-sosok perempuan tertentu untuk mendapatkan atensi. Atensi itu diharapkan datang pertama-tama dari kalangan perempuan sendiri, dan kedua dari kaum laki-laki.
Perhatikan ketika Sang Ketum menyebut dan menunjuk Menko PMK, Muhadjir Effendi dan Menlu Retno Marsudi. Terasa keseimbangan kode pesan keras pensejajaran laki-laki dan perempuan.Â
Satu pidato yang menarik diselingi bahasa daerah (Jawa) yang dipahami hanya oleh pengguna bahasa daerah itu. Sementara publik pengguna bahasa daerah lainnya, "melongo"Â saja, walau harus diakui bahwa menggunakan bahasa daerah dalam pidato itu pun telah memberi isyarat kuat dan keras bahwa bahasa daerah patut dilestarikan. Salah satu caranya yakni digunakan, bahkan dalam pidato formal.
Â
Perempuan
Kita tidak dapat menyangkali bahwa Sang Khalik Ilahi menciptakan laki-laki dan perempuan dalam kedudukan yang sejajar. Kitab suci melukiskan dan menguraikan secara jelas kepada umat manusia tentang penciptaan Adam dan (Siti) Hawa sebagai ciptaan istimewa. Keistimewaan itu terlihat dari pendekatan penciptaan itu yakni, Sang Khalik Ilahi menggunakan media contoh (Diri-Nya), bahan/material, proses kerja/rekayasa, terlihat hasilnya, hingga memberi kehidupan pada ciptaan itu. Laki-laki. Itulah mahakarya dari Sang Khalik Ilahi.Â
Lalu, Sang Khalik Ilahi memandang perlu menempatkan satu sosok lain yang sejajar. Pendekatan yang sama digunakan, bahan/materialnya diambil dari ciptaan pertama (laki-laki), proses kerja/rekayasa, hingga memberi kehidupan padanya. Perempuan. Itulah mahakarya dari Sang Khalik Ilahi. Keduanya terlihat berkemiripan, berbeda dalam kodrat, tetapi ada kesejajaran dalam kedudukan di hadapan Sang Khalik Ilahi yang mengkreasikan keduanya.