Dalam percakapan ringan dengan Sang Pendeta (sebagaimana yang catat di depan) dan seroang pemuda, kami sampai pada kesimpulan sebagai berikut:
Â
- Menyalakan dan diikuti dengan memadamkan nyala lilin pada hari penuh rasa syukur dan sukacita khususnya pada pada saat berulang tahun (hari kelahiran) seseorang atau satu institusi (apa pun itu), merupakan suatu budaya yang bukan milik bangsa (etnis) ini, tetapi telah diterima menjadi budaya sendiri.
- Menyalakan dan diikuti dengan memadamkan nyala lilin sebagai suatu budaya yang diterima secara komunal, maka hal itu menandakan kita pun turut serta membudayakan tata ibadah kaum pemuja Dewa/Dewi Yunani kuno. Kita menghidupkannya dengan cara baru baik itu di rumah atau pada institusi dimana orang berkarya.
- Menyalakan lilin tanpa memadamkannya sebagai perlambangan kehidupan baru. Biarlah nyala itu terus ada sampai padam dengan sendirinya oleh karena telah habis raga/badan lilin itu. Bukankah setiap orang mesti berguna seperti lilin yang hancur namun sekelilingnya menikmati cahayanya? Jadi, setiap orang adalah lilin-lilin kecil di sekitar kehidupannya, paling kurang pada rumah tangganya, pada institusi dimana ia menjadi anggota.
- Menyalakan lilin pertanda kehadiran Tuhan dalam kehidupan baru. Dalam iman Kristen, Yesus berkata, "Akulah Terang Dunia; barangsiapa mengikut Aku, ia tidak akan berjalan di dalam kegelapan, melainkan ia akan mempunyai terang hidup." Bila kaum Kristen yang bersyukur dan bersukacita pada perayaan hari kelahiran seseorang atau institusi keagamaannya dengan memadamkan nyala lilin, bagaimana memaknai ayat yang ditulis oleh Yohanis 8:12?
- Saran dari hasil percakapan ringan ini yakni, sebaiknya menggunakan dua batang lilin. Keduanya dinyalakan, lalu sebatang dipadamkan sebagai pertanda masa lampau berakhir, sementara sebatang berikutnya dinyalakan sebagai pertanda datangnya hari baru dan menghadirkan Tuhan untuk berjalan bersama.
Â
Penutup
Â
Kesadaran untuk bersyukur ketika bertemu dengan hari kelahiran tidak selalu harus ditandai dengan menyalakan dan memadamkan nyala lilin. Sebongkah kue tidak habis dimakan oleh mereka yang merayakan hari sukacita itu. Kue itu mahal harganya. Lalu, apa yang sebaiknya dilakukan?
Â
- Kunjungilah kaum terpinggirkan, para janda dan yatim-piatu pada hari sukacita itu. Doakan mereka dan mereka pun secara diam-diam mendoakan Anda. Hal ini dilakukan bila Anda merasa mampu secara ekonomi untuk berbagi.
- Berdoalah pada Tuhan dengan keberadaan hidupmu. Memviralkan diri dengan menyalakan/memadamkan nyala lilin bukan sesuatu yang tabu, namun bila memberi makna baru padanya akan lebih baik daripada tanpa makna sama sekali, apalagi tanpa pengetahuan latar belakang pendekatan itu.
Â
Mari mencoba. Terima kasih telah membaca artikel ini.
Â
Â
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!