Pengantar
Saya memulai tulisan ini dengan satu pertanyaan, benarkan menyalakan lilin dan memadamkannya di atas sebongkah kue pada saat seseorang (satu unit instansi/organisasi) menemui hari kelahirannya itu sebagai satu kebudayaan milik etnis atau bangsa Indonesia? Atau kurang lebihnya, apakah menyalakan/memadamkan lilin sesudah berdoa itu merupakan bagian dari perayaan atas bertambahnya umur?
Saya pastikan para pembaca memiliki dimensi jawaban yang variatif. Saya sendiri sudah pernah menulis materi ini di weblog yang dikelola Majelis Jemaat Pniel Tefneno Koro'oto[1]. Rupanya hal menyalakan/memadamkan lilin di atas sebongkah kue sudah membudaya. Lalu kepada  para pelakunya, saya bertanya lagi, tahukah Anda buday ini dimulai dari mana?
 Menurut saya, mereka yang memimpin doa mesti menyampaikan pencerahan mendahului penyalaan/pemadaman nyala lilin. Hal ini agar para penggembira mengetahui asal-usul, makna dan dampaknya pada mereka, dan pada semua orang yang turut serta dalam acara ini.
Â
Filosofi menyalakan/memadamkan Lilin
 Saya bertanya pada seorang pendeta segera setelah acara sukacita perayaan hari ulang tahun satu jemaat GMIT. Pertanyaan saya, sebaiknya menyalakan atau memadamkan lilin jika mengucap syukur pada hari kelahiran? Sang pendeta terdiam beberapa saat, lalu sambil tersenyum ia menjawab (dengan nada agak ragu), "menyalakan lilin."
Lalu saya bertanya lagi, "Mengapa pada selalu memadamkan (ditiup)?" Lagi-lagi sang pendeta tersenyum belaka.
Kami melanjutkan percakakapan tentang menyalakan/memadamkan lilin pada acara syukuran hari kelahiran. Saya menguraikan hal ini dari aspek sejarah. Pada zmaan Yunani kuno, masyarakat membawa kue ke dalam kuil untuk dipersembahkan kepada dewi kesuburan (Delila) dan dewa Perburuan (Artemis).
Ketika mereka memasuki kuil yang gelap mereka harus menyalakan lilin agar ruangan penyembahan menjadi terang. Lalu, ketika sudah tiba di altar dewi/dewa, lilin segera dipadamkan (tiup). Asap lilin yang telah padam diyakini membawa aroma dari persembahan masyarakat. Aroma itu akan sampai kepada lubang pembauan dewa Artemis dan dewi Delila.
Masyarakat pengikut para Dewa/Dewi yang demikian ini tercatat dalam Perjanjian Baru: Kitab Kisah Para Rasul 19; disebutkan tentang pengajaran Rasul Paulus yang menyebabkan para pemuja Dewa Artemis marah.Â
Mereka kehilangan pekerjaan dan pendapatan. Patung-patung Dewa Artemis dibuat dan diperjualbelikan. Itulah sebabnya ketika Rasul Paulus menyatakan bahwa hanya ada satu jalan kehidupan melalui Yesus Kristus, para pemuja dan pengrajin patung Dewa Artemis marah.
Â
Nah, secara ringkas aspek sejarah menyalakan/memadamkan lilin kiranya demikian.
Â
Hal lain yang diasumsikan sebagai cara yang tepat untuk memberi makna dari menyalakan/memadamkan lilin yakni, masa yang sudah berlalu, biarlah berlalu. Aspek masa lalu ini yakni umur yang sudah berlalu akan berlalu, diasumsikan akan tenggelam (gelap).Â
Lalu, sukacita pada umur yang baru ditandai dengan bermusik dengan tepuk tangan sambil bernyanyi. Tanda meninggalkan kelampauan dan menerima masa depan (1 tahun lagi) yaitu dengan memotong dan membagi-bagikan kue untuk disantap bersama.
Â
Kita pun bertanya, dimanakah sejarah yang menutup (membuat gelap) diri? Bila aspek kesejarahan dari seseorang atau institusi ditutup (tiup padamkan), bagaimana mendapatkannya lagi untuk berkisah dan mengurainya dalam tulisan (prasasti)?
Â
Menyalakan Lilin Baru
Dalam percakapan ringan dengan Sang Pendeta (sebagaimana yang catat di depan) dan seroang pemuda, kami sampai pada kesimpulan sebagai berikut:
Â
- Menyalakan dan diikuti dengan memadamkan nyala lilin pada hari penuh rasa syukur dan sukacita khususnya pada pada saat berulang tahun (hari kelahiran) seseorang atau satu institusi (apa pun itu), merupakan suatu budaya yang bukan milik bangsa (etnis) ini, tetapi telah diterima menjadi budaya sendiri.
- Menyalakan dan diikuti dengan memadamkan nyala lilin sebagai suatu budaya yang diterima secara komunal, maka hal itu menandakan kita pun turut serta membudayakan tata ibadah kaum pemuja Dewa/Dewi Yunani kuno. Kita menghidupkannya dengan cara baru baik itu di rumah atau pada institusi dimana orang berkarya.
- Menyalakan lilin tanpa memadamkannya sebagai perlambangan kehidupan baru. Biarlah nyala itu terus ada sampai padam dengan sendirinya oleh karena telah habis raga/badan lilin itu. Bukankah setiap orang mesti berguna seperti lilin yang hancur namun sekelilingnya menikmati cahayanya? Jadi, setiap orang adalah lilin-lilin kecil di sekitar kehidupannya, paling kurang pada rumah tangganya, pada institusi dimana ia menjadi anggota.
- Menyalakan lilin pertanda kehadiran Tuhan dalam kehidupan baru. Dalam iman Kristen, Yesus berkata, "Akulah Terang Dunia; barangsiapa mengikut Aku, ia tidak akan berjalan di dalam kegelapan, melainkan ia akan mempunyai terang hidup." Bila kaum Kristen yang bersyukur dan bersukacita pada perayaan hari kelahiran seseorang atau institusi keagamaannya dengan memadamkan nyala lilin, bagaimana memaknai ayat yang ditulis oleh Yohanis 8:12?
- Saran dari hasil percakapan ringan ini yakni, sebaiknya menggunakan dua batang lilin. Keduanya dinyalakan, lalu sebatang dipadamkan sebagai pertanda masa lampau berakhir, sementara sebatang berikutnya dinyalakan sebagai pertanda datangnya hari baru dan menghadirkan Tuhan untuk berjalan bersama.
Â
Penutup
Â
Kesadaran untuk bersyukur ketika bertemu dengan hari kelahiran tidak selalu harus ditandai dengan menyalakan dan memadamkan nyala lilin. Sebongkah kue tidak habis dimakan oleh mereka yang merayakan hari sukacita itu. Kue itu mahal harganya. Lalu, apa yang sebaiknya dilakukan?
Â
- Kunjungilah kaum terpinggirkan, para janda dan yatim-piatu pada hari sukacita itu. Doakan mereka dan mereka pun secara diam-diam mendoakan Anda. Hal ini dilakukan bila Anda merasa mampu secara ekonomi untuk berbagi.
- Berdoalah pada Tuhan dengan keberadaan hidupmu. Memviralkan diri dengan menyalakan/memadamkan nyala lilin bukan sesuatu yang tabu, namun bila memberi makna baru padanya akan lebih baik daripada tanpa makna sama sekali, apalagi tanpa pengetahuan latar belakang pendekatan itu.
Â
Mari mencoba. Terima kasih telah membaca artikel ini.
Â
Â
Umi Nii Baki-Koro'oto, 26 Oktober 2022
Â
Â
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H