Batu-batu itu perlambang, lokasi tempat roh para leluhur. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa orang Toraja menguburkan jenazah anggota keluarganya pada lubang-lubang batu yang dipahat. Lubang-lubang batu itu ditempatkan di tebing-tebing. Setiap satu pintu batu, di sana diletakkan sejumlah jenazah. Bahkan setiap orang yang meninggal dalam satu keluarga (satu tongkonan) akan dimakamkan/diletakkan jenazahnya di sana.
Roh leluhur berada di sana. Mereka diasumsikan sebagai berada di alam bawah, sekalipun sesungguhnya mereka adalah roh. Roh dari para leluhur diyakini terus hidup. Mereka harus diberi penghormatan secara khusus secara reguler. Setiap ritual penghormatan itu hendak memberi tanda, bahwa anggota keluarga yang masih hidup di permukaan Tana Toraja tetap menghormati anggota keluarganya yang sudah meninggal, terlebih orang tua mereka (nenek, kakek, ayah, ibu).
Pada konstruksi bangunan, nampak alam bawah sempit. Jika diukur dari permukaan tanah ukuran tingginya antara 40cm - 50 cm. Dengan ketinggian yang seperti itu, area di bawah bangunan lumbung sangat sempit untuk dimasuki orang. Maknanya adalah, ritual pemakaman berlangsung secara khusus itu ketika harus meletakkan jenazah dilakukan hanya oleh orang-orang tertentu saja. Demikian pula ketika secara reguler membuka pintu kuburan, dilakukan oleh juru kunci, dan anggota keluarga tertentu saja yang dapat mengeluarkan tulang-tulang dari jenazah yang pernah diletakkan di sana untuk mendapat pembersihan tulang-tulang dan rangka jenazah itu mendapat pakaian baru.
Dari aspek kepercayaan, diyakini bahwa roh leluhur menjadi pemangku kehidupan orang Toraja, khususnya pada setiap Lumbung yang berpasangan dengan Tongkonan. Roh para leluhur terus mengikuti segala sepak terjang kehidupan keturunan mereka yang masih hidup. Secara spiritual mereka memberi spirit kehidupan, baik pada manusia maupun alam.
Alam Tengah (1)
Alam Tengah (1), dikonstruksikan bidang datar tempat dimana orang dapat duduk di sana baik sekedar duduk mengaso maupun hal lain yang positif. Pada Alam Tengah (1) ini saya baca dan maknai sebagai kampung halaman dimana ada kehidupan keluarga-keluarga dalam komunitas Tongkonan. Di sana mereka menunaikan segala hak dan kewajiban sebagai individu dan komunitas Tongkonan hingga antarTongkonan.
Kerja keras mereka itu antara lain dengan bercocok tanam di sawah, dan beternak ayam, babi, dan kerbau. Seluruh hasil bercocok tanam dan beternak untuk kebutuhan konsumtif, ekonomis, dan ritual budaya.
Alam Tengah (2)
Alam Tengah (2), dikonstruksikan sebagai kotak besar. Di dalam kotak besar ini akan diisi seluruh hasil kerja keras, dalam hal ini padi yang sudah bersih dimasukkan ke dalam peti besar atau lumbung. Dari sana mereka akan menikmati hasilnya.
Memasukkan hasil ke dalam lumbung diharapkan dalam jumlah besar, tetapi masuk melalui satu pintu kecil. Menuju ke pintu kecil itu, diperlukan tangga. Tangga yang disandarkan itu tidak parmanen.
Aliran hasil kerja tidak masuk setiap saat. Demikian pula pengeluarannya untuk kebutuhan tidak dilakukan setiap saat. Semua hasil kerja keras dibawa masuk dalam lumbung dilakukan oleh orang yang mendapatkan kepercayaan khusus. Begitu pula ketika pengeluarannya. Untuk masuk ke dalam lumbung melalui pintu, pintu itu sangat kecil lubangnya, sehingga orang yang dimaksud sebagai orang tertentu itu harus memiringkan tubuhnya dengan memasukkan kepala terlebih dahulu. Hanya dia saja yang boleh menerima dan mengeluarkan padi.