Pengantar
Â
Tulisan ini ada ketika kami berkesempatan berkunjung ke Toraja Utara. Tujuan kami ke sana untuk suatu hal yang berhubungan dengan urusan keluarga. Ketika berada di sana, terlihat banyak hal yang menginspirasi untuk dijadikan tulisan. Salah satunya sebagaimana yang saya tempatkan di sini yakni Membaca Kehidupan Etnis Toraja dalam Konstruksi Bangunan.
Konstruksi bangunan bila dilihat sepintas ada kesamaan antara lumbung dan tongkonan. Benar, bahwa secara konstruksi antara Lumbung dan Tongkonan kelihatannya sama. Namun, secara fungsional ada bedanya. Menurut penuturan beberapa tetua di Sangpiak, Kecamaan Awan, Kabupaten Toraja Utara, Lumbung melambangkan laki-laki, dan Tongkonan melambangkan perempuan.
Saya fokus pada Makna Tingkatan Konstruksi Lumbung. Pada konstruksi lumbung ada empat tingkatannya. Keempat tingkatan ini yang hendak saya baca dan memberi persepsi makna pada tiap tingkatan, setelah saya berdiskusi dengan para tetua sebagaimana yang dimaksudkan tadi.
Konstruksi dan Maknanya
Perhatikan Gambar berikut ini.
Karya arsitektur masa lampau ini saya baca dan namakan Alam Martabat Etnis Toraja. Mengapa? Saya memberi nama pada keempat tingkatan itu dengan nama: 1) Alam Bawah, 2) Alam Tengah (1), 3) Alam Tengah (2), dan 4) Alam Atas.
Alam Bawah
Alam bawah, nampak pada persentuhan konstruksi dengan tanah dan bagian bawah tanah. Di sana tiang-tiang (4 -- 6 tiang) di letakkan di atas batu. Keempat batu-batu itulah yang berhubungan langsung dengan tanah.
Batu-batu itu perlambang, lokasi tempat roh para leluhur. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa orang Toraja menguburkan jenazah anggota keluarganya pada lubang-lubang batu yang dipahat. Lubang-lubang batu itu ditempatkan di tebing-tebing. Setiap satu pintu batu, di sana diletakkan sejumlah jenazah. Bahkan setiap orang yang meninggal dalam satu keluarga (satu tongkonan) akan dimakamkan/diletakkan jenazahnya di sana.
Roh leluhur berada di sana. Mereka diasumsikan sebagai berada di alam bawah, sekalipun sesungguhnya mereka adalah roh. Roh dari para leluhur diyakini terus hidup. Mereka harus diberi penghormatan secara khusus secara reguler. Setiap ritual penghormatan itu hendak memberi tanda, bahwa anggota keluarga yang masih hidup di permukaan Tana Toraja tetap menghormati anggota keluarganya yang sudah meninggal, terlebih orang tua mereka (nenek, kakek, ayah, ibu).
Pada konstruksi bangunan, nampak alam bawah sempit. Jika diukur dari permukaan tanah ukuran tingginya antara 40cm - 50 cm. Dengan ketinggian yang seperti itu, area di bawah bangunan lumbung sangat sempit untuk dimasuki orang. Maknanya adalah, ritual pemakaman berlangsung secara khusus itu ketika harus meletakkan jenazah dilakukan hanya oleh orang-orang tertentu saja. Demikian pula ketika secara reguler membuka pintu kuburan, dilakukan oleh juru kunci, dan anggota keluarga tertentu saja yang dapat mengeluarkan tulang-tulang dari jenazah yang pernah diletakkan di sana untuk mendapat pembersihan tulang-tulang dan rangka jenazah itu mendapat pakaian baru.
Dari aspek kepercayaan, diyakini bahwa roh leluhur menjadi pemangku kehidupan orang Toraja, khususnya pada setiap Lumbung yang berpasangan dengan Tongkonan. Roh para leluhur terus mengikuti segala sepak terjang kehidupan keturunan mereka yang masih hidup. Secara spiritual mereka memberi spirit kehidupan, baik pada manusia maupun alam.
Alam Tengah (1)
Alam Tengah (1), dikonstruksikan bidang datar tempat dimana orang dapat duduk di sana baik sekedar duduk mengaso maupun hal lain yang positif. Pada Alam Tengah (1) ini saya baca dan maknai sebagai kampung halaman dimana ada kehidupan keluarga-keluarga dalam komunitas Tongkonan. Di sana mereka menunaikan segala hak dan kewajiban sebagai individu dan komunitas Tongkonan hingga antarTongkonan.
Kerja keras mereka itu antara lain dengan bercocok tanam di sawah, dan beternak ayam, babi, dan kerbau. Seluruh hasil bercocok tanam dan beternak untuk kebutuhan konsumtif, ekonomis, dan ritual budaya.
Alam Tengah (2)
Alam Tengah (2), dikonstruksikan sebagai kotak besar. Di dalam kotak besar ini akan diisi seluruh hasil kerja keras, dalam hal ini padi yang sudah bersih dimasukkan ke dalam peti besar atau lumbung. Dari sana mereka akan menikmati hasilnya.
Memasukkan hasil ke dalam lumbung diharapkan dalam jumlah besar, tetapi masuk melalui satu pintu kecil. Menuju ke pintu kecil itu, diperlukan tangga. Tangga yang disandarkan itu tidak parmanen.
Aliran hasil kerja tidak masuk setiap saat. Demikian pula pengeluarannya untuk kebutuhan tidak dilakukan setiap saat. Semua hasil kerja keras dibawa masuk dalam lumbung dilakukan oleh orang yang mendapatkan kepercayaan khusus. Begitu pula ketika pengeluarannya. Untuk masuk ke dalam lumbung melalui pintu, pintu itu sangat kecil lubangnya, sehingga orang yang dimaksud sebagai orang tertentu itu harus memiringkan tubuhnya dengan memasukkan kepala terlebih dahulu. Hanya dia saja yang boleh menerima dan mengeluarkan padi.
Pada Alam Tengah (2) ini, terbaca manusia Toraja yang sangat suka meninggalkan kampung halaman (merantau). Mereka merantau dengan modal pendidikan, ketrampilan/keahlian tertentu. Di rantauan mereka bekerja seturut keahlian itu. Berbagai bidang dan profesi dijalani, bahkan dapat saja menjadi pengusaha-pengusaha yang berhasil di rantauan.
Hasil kerja keras itu dikirimkan kepada mereka yang tinggal di kampung halaman (Tongkonan). Mereka yang mengirim hasil kerja itu, ikut mengisi lumbung. Dari lumbung mereka menghidupkan tongkonan.
Alam Atas
Alam Atas, terlihat seperti tanduk kerbau. Terinspirasi dari kepala kerbau, arsitek Toraja masa lampau menggambar dalam benak dan mewujudkannya. Terlihat kekar dan kuat model kepala kerbau ditempatkan pada bangunan rumah baik sebagai lumbung maupun tongkonan (tempat tinggal/hunian). Kerbau merupakan ternak peliharaan orang Toraja. Kerbau menjadi ternak kebanggaan bila ada yang memilikinya lebih dari seekor. Jenis dan warna kulit serta tanduk kerbau yang dimiliki berbeda harganya, berbeda pula harkat kemanusiaan yang melekat pada pemilik kerbau.
Kerbau memberi makna harga diri. Rumah Lumbung dibuatkan konstruksi atapnya seperti tanduk kerbau. Itulah harkat dan harga diri orang Toraja. Kebanggaan, kehormatan dan kemuliaan orang Toraja ditempatkan di atas segala-galanya. Itulah sebabnya saya menyebutkannya sebagai Alam Atas.
Â
Penutup
Demikian sekilas makna yang terbaca dari karya arsitektur Orang Toraja. Bahwa Orang Toraja pada masa lampau sungguh menyadari akan alam kehidupan mereka. Mereka menghadirkan roh leluhur yang tidak kelihatan sebagai pelindung dan motivator yang memberi roh pada kehidupan mereka.
Mereka pun menyadari bahwa usaha dan kerja keras dapat dilakukan di dua alam. Alam kehidupan kampung halaman dan di luar kampung halaman. Maka, komunitas di dalam Tongkonan kemudian berbagi dua pula. Pertama, Penjaga dan Pemelihara di kampung halaman, dan kedua, Perantau di luar kampung halaman yang kelak turut membangun kampung halaman sambil membentuk komunitas baru di rantauan. Perantau di tempat sejauh-jauhnya sepanjang kerinduan, harga diri dan identitas ke-Toraja-an sepanjang belum dapat diexploitasi untuk dipancarkan, mereka akan terus berjalan dalam rantauan itu.
Alam Atas menggambarkan kemuliaan. Kemuliaan manusia Toraja dikonstruksikan. Bila membuka tangan ke atas, itu tanda kepuasan. Semua yang puas akan berakhir di sana. Selama belum puas dan senang, belum mau mengangkat tangan. Tetapi, semua yang mengangkat dua tangan walau sering pula terbaca sebagai "menyerah", bagi orang Toraja, tidak ada kata menyerah sebelum sampai pada tingkat kepuasan itu.
Terima kasih.
NB: Catatan yang lama tersimpan, saya tempatkan di sini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H