Mohon tunggu...
Herulono Murtopo
Herulono Murtopo Mohon Tunggu... Administrasi - Profesional

Sapere Aude

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Rasisme dan Pengkondisian Sosial

1 Juli 2020   18:48 Diperbarui: 1 Juli 2020   18:50 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar dari https://pedomansulsel.com/

Bagaimanapun, prasangka rasial itu ada. Dari stereotip sampai pada praksisnya. Sayang sekali bahwa psikologi sosial seakan melanggengkan hal tersebut. Di satu sisi ada upaya komunal untuk membangun identitas sosial, di lain sisi justru mempertinggi dan mempertebal sekat sekat sosial.

Faktanya: ketika kita mendengar orang atau kelompok tertentu dari suku tertentu, kita sudah punya bayangan yang menjadi pra pemahaman kita. Apapun itu, kalau saya sebutkan misalnya orang Jawa, orang Sunda, orang China, orang bule, orang Afrika, orang Arab, orang India. Kita langsung punya bayangan berdasarkan stereotipnya. Bukan hanya fisiknya, bukan?

Awalnya mungkin, stereotip sejauh masih dipahami objektif dipahami sebagai sebuah budaya yang didasarkan pada kodrat, hal itu masihlah lumrah. Namun, kelumrahan ketika masuk pada area politis menjadi sebuah banalitas rasialisme. Pembedaan pembedaan rasial, berupa makian, diskriminasi dalam berbagai seginya, menjadikan cara berfikir dangkal tentang rasisme.

Kita semua tentu menginginkan agar kita tetap membangun identitas komunal kita. Sebagai orang jawa, sebagai orang manado, sebagai orang sunda, sebagai orang Indonesia. Atau lebih luas, ketika kita bicara agama sebagai sebuah indentitas komunal, ada kepentingan untuk menanamkan kebanggaan sebagai orang Kristen, sebagai orang Islam, sebagai orang Hindu, sebagai orang Yahudi, dll. 

Namun, lihatlah di sini, ketika saya memandang diri dengan agama tertentu, ada bahaya untuk melihat orang lain dengan agamanya sebagai liyan. sebagai sosok yang lain, yang sadar tidak sadar memang membangun tembok. 

Apalagi hal ini kaitannya dengan klaim klaim keselamatan dan moralitas. Keselamatan akan bicara kita selamat, agama kita selamat, yang lain sesat dan tentu saja tidak selamat. 

Moralitas ketika bicara baik dan buruk (apalagi secara etis bicara jahat dan keutamaan) akan bicara kami baik dan kalian tidak baik. apalagi ketika sesuatunya memandang hitam putih, kalau begini pasti begini, maka yang berbeda dari ini tidak mungkin juga begini.

Seakan melupakan bahwa perbedaan dan pilihan (dengan latar belakangnya yang berbeda) adalah sebuah kodrat yang mustahil untuk diseragamkan atau dipaksakan untuk sama.

Saya ingat kata kata KH Imam Pituduh ketika memberikan ceramah dalam sebuah diskusi di gereja, "kami ini saudara kalian, kalian itu saudara kami, kita berbeda pilihan tetapi tetap saudara dan bekerja sama. 

Jadi kalau Tuhan nanti menentukan keselamatan berdasarkan agamanya, kalau misalnya kami yang masuk surga maka kalian akan saya ajak ke surga. sebaliknya kalau ternyata agama kalian yang ditentukan masuk surga, ya tolong kami ini juga diajak. karena kita saudara dan bekerja sama dalam kebaikan..."

Tentu nadanya sangat berkelakar karena saat itu disambut tawa dari audiens, di mana yang hadir masyarakat umum dari berbagai agama. Demikianlah persaudaraan dan kemanusiaan.

Kembali kepada topik rasialisme. rasialisme muncul bukan hanya secara epistemologis, berkaitan dengan cara berfikir dan konstruksi pengetahuan, tapi juga kaitannya erat dengan psikologi. 

Rasisme didefinisikan sebagai sekumpulan ide-ide dan kepercayaan yang memiliki potensi untuk menyebabkan seseorang membentuk prasangka buruk yang pada akhirnya membawa pada perilaku negatif terhadap kelompok masyarakat tertentu. 

Ide dan kepercayaan yang salah itu kemudian membentuk prasangka buruk; dan prasangka buruk menghasilkan perilaku negatif yaitu diskriminasi. Inilah kemudian bentuk psikologi kognitif. 

Di mana otak manusia, dengan pengetahuannya, dengan pra pemahamannya, dengan pra sangkanya, mengolah informasi yang diperoleh untuk kemudian menjadi keputusan tindakan. Artinya, tidak ada manusia yang terlahir rasis.

Maka, rasialisme itu terbangun berkat informasi informasi pada dirinya. Informasi terutama berkaitan dengan identitas dan citra diri itulah yang kemudian sangat berpengaruh pada sebuah perspektif dan pra pemahaman. Bahwa saya berbeda, bahwa kita berbeda dengan mereka. Akhirnya terbangunlah sebuah hegemoni. 

Ingin sebenarnya saya sharing banyak bagaimana orang orang dari kelompok tertentu membangun citra diri komunitas mereka. tapi khawatirnya malah melengkapi pemikiran rasialis semacam itu. 

Entah berkaitan dengan ras, dengan suku, dan agama, entah mayoritas, entah minoritas, ada semacam upaya membangun citra kelompok bahwa kita lebih baik. entah secara religius, entah secara fisik, entah secara intelektual, dan pada saat saat semacam itu, terlihat sekali tidak berimbang dan cenderung menjadi merendahkan kelompok lain.

Karena memang secara psikologis, citra diri itu sederhananya untuk membangun semacam kepercayaan diri tapi pada saat yang sama menjadi menjatuhkan pihak lain. Lama kelamaan, kalau yang semacam ini menjadi semacam kesadaran praktis, maka menghadapi orang lain yang berbeda ini pemikirannya juga tidak kompleks. 

Dengan kata lain, prasangka yang emosional semacam itu memang tidak terlalu memperhitungkan rasionalitas. Otak manusia juga, cenderung menghindari pemikiran yang kompleks. 

Sederhananya, kebiasaan untuk berfikir cepat, atau malah menjadi malas berfikir, mencukupkan pemahamannya pada pengetahuan yang sudah dimiliki. Cara berfikir semacam ini tidak terjadi di satu wilayah tertentu atau pada komunitas tertentu saja, tapi berlaku umum.

Pengalaman saya, seorang teman dari Indonesia ketika sedang studi di Belanda bercerita, pada awal awal di Belanda dia tentu saja harus menyesuaikan diri dengan banyak hal. 

Belajar banyak hal di negeri asing itu. dia merasa sangat beruntung karena ada seorang teman dari Yunani yang selalu bersedia menolongnya atau menjadi teman yang baik bagi dirinya. Agama tidak banyak dibicarakan. 

Tapi ketika dia penasaran dan mengisi pembicaraan bertanya tentang agama temannya ini, yang ternyata Yahudi sangat kagetlah teman saya yang muslim ini. 

Selama di Indonesia, hampir tidak ada konsep baik yang dibangun tentang orang orang Yahudi. Dalam situasi semacam itu, kemudian dia semacam dipaksa untuk berfikir lebih kompleks. Dari yang sekedar berbekal stereotip dihadapkan pada sebuah pengalaman sekaligus kenyataan.

Belajar dari Egg Boy

Maret 2019, sebuah kejadian tak terduga terjadi di Selandia Baru. Negara yang aman dengan tingkat kejahatan relatif kecil. Tiba tiba saja ada penembakan di sebuah masjid di Christ Church. Menewaskan lima puluhan orang. Peristiwa tersebut menjadi keprihatinan dunia sebagai bentuk rasialisme. 

Belum lagi, melihat motif pelaku yang ingin menunjukkan supremasi kulit putih atas ras ras yang lain. dan berita berikutnya kita tahu, ada seorang senator Australia yang alih alih bersimpati pada korban, tapi malah menyalahkan umat Islam. 

Pada hari penembakan di Selandia Baru, Fraser Anning berkomentar bahwa migasi kaum Muslim patut disalahkan sebagai penyebab penembakan tersebut, dan komentar itu menimbulkan kemarahan publik. Sehari sesudah pernyataan itu, Will Connolly, 17 tahun, menghampiri sang senator dari belakang saat sedang memberi pernyataan pers di Melbourne pada tanggal 16 Maret. dan memecahkan telur di kepala sang senator.

lalu kesalahpahaman banyak terjadi di sini. Connolly dianggap membela Islam. Padahal, kalau melihat sejarah dan latar belakang Connolly, sebenarnya dia sedang membela persaudaraan dan kemanusiaan. Dia tidak sedang membela agama tertentu. 

Mengapa bisa begitu? karena kalau kita melihat Australia dengan sejarahnya, sejak lama mereka membangun kesadaran atas persamaan dan persaudaraan orang orang dari berbagai ras dan asal usulnya. Kita tahu bahwa Australia merupakan tempat imigrasi orang orang Inggris. 

Dan selama dua dekade, penjajahan orang orang Inggris hanya mengijinkan orang orang kulit putih untuk berimigrasi. Baru di waktu waktu kemudian, dibuka imigrasi dari masyarakat non kulit putih. Dan dalam waktu yang sangat singkat muncullah ledakan imigrasi orang orang yang mencoba memperbaiki nasib di negeri kanguru tersebut.

Will Connolly sebagai generasi 2000an, hidup dalam situasi keberagaman akibat perjalanan panjang gelombang gelombang imigrasi tersebut.  Pemerintah Australia, menyadari kenyataan multikultural di negaranya secara sangat serius mencoba menanamkan kesadaran multikulturalisme,  keberagaman, dan tentu saja anti rasialis. 

Australia Day setiap 26 Januari yang memperingati momen pendaratan kapal Inggris pertama, dikritik habis habisan. karena mereka menyadari bahwa peristiwa tersebut mengawali sebuah kejahatan kolonialisme. Semangat pluralisme ini bukian hanya diberikan di bangku bangku pendidikan, tapi juga dalam kampanye kampanye sosial di masyarakat.

Will Connolly pendidikan dasar dengan nilai nilai pluralitas yang kuat. Ia tumbuh menjadi seorang remaja yang utuh dalam nilai-nilai keragaman.  Dari situlah kemudian  ia memandang superioritas yang hanya berdasarkan warna kulit, juga fasisme dan rasisme, sebagai sikap-sikap yang menjijikkan dan tidak baik. Termasuk ketika Anning yang mempolitisi keadaan dan sebagai orang yang tumbuh dalam latar belakang pendidikan superioritas Eropa, Connoly menjadi sangat sakit hati. 

Maka, sebagai sebuah pembelaan atas multikulturalisme dan semangat keberagaman, sebenarnya Connoly juga akan membela kelompok kelompok lain yang mendapat perlakuan serupa. (tentang egg boy ini dan latar belakang sosiologis di Australia saya mengambilnya dari tulisan Iqbal Aji Daryono)

Demikianlah, saya melihat bahwa rasisme tidak lepas dari pengkondisian yang membentuk pola pikir seseorang dalam melihat sekitarnya terutama yang berbeda, sebagai sebuah keberagaman. Di Indonesia sebenarnya juga ada upaya upaya baik tentang multikulturalisme ini. 

Sejak dibentuknya BPUPKI upaya melibatkan orang dari berbagai ras dan suku ini sudah ada. Bukan hanya orang orang dari suku suku di Indonesia yang dilibatkan, tapi juga ada orang Belanda, ada orang Arab, dan ada orang orang Tionghoa yang menjadi anggota BPUPKI. 

Demikian halnya ketika membahas Indonesia mau ke mana dan bagaimana, juga pertimbangan pertimbangan multikulturalisme ini cukup kuat. Sila persatuan Indonesia dengan semangat nasionalisme cukup kuat menjadi pertimbangan sekaligus dalam menentukan undang undang dan kebijakan.

Sayang sekali, demi kepentingan politik malah cita cita nasionalisme dengan semangat persudaraan itu kian luntur. Ketika komunisme mengobok obok keberagamaan di indonesia, meskipun uniknya mereka setuju dengan sila ketuhanan yang maha esa. 

Ketika komunisme kemudian tumbang, agama menjadi sangat anti terhadap keyakinan untuk tidak mempercayai Tuhan. Lebih dari itu, indonesia kemudian menjadi sangat jawa-sentris. Lebih khusus lagi menjadi sangat jakarta-sentris.

Ingin sekali sebenarnya Indonesia itu sudah ber'bhineka tunggal ika'. Sayang sekali, kebinekaan itu cenderung secara politis mau di'ika'kan, diseragamkan. Wajar kalau diskriminasi masih banyak terjadi di Indonesia. Diakui atau tidak, disadari atau tidak... apa yang ditakutkan Hatta tentang mayorokrasi itulah yang terjadi dengan dalih demokrasi di Indonesia. Rasialkah?

Begini: seandainya ada orang sunda wiwitan, mau menjadi seorang presiden di Indonesia? kira kira apa yang pertama kali akan dipermasalahkan? kompetensinya kah? moralitasnya kah? sukunya kah? atau agamanya?

Dan begitulah pengkondisian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun