Mohon tunggu...
Herulono Murtopo
Herulono Murtopo Mohon Tunggu... Administrasi - Profesional

Sapere Aude

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Rasisme dan Pengkondisian Sosial

1 Juli 2020   18:48 Diperbarui: 1 Juli 2020   18:50 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar dari https://pedomansulsel.com/

Australia Day setiap 26 Januari yang memperingati momen pendaratan kapal Inggris pertama, dikritik habis habisan. karena mereka menyadari bahwa peristiwa tersebut mengawali sebuah kejahatan kolonialisme. Semangat pluralisme ini bukian hanya diberikan di bangku bangku pendidikan, tapi juga dalam kampanye kampanye sosial di masyarakat.

Will Connolly pendidikan dasar dengan nilai nilai pluralitas yang kuat. Ia tumbuh menjadi seorang remaja yang utuh dalam nilai-nilai keragaman.  Dari situlah kemudian  ia memandang superioritas yang hanya berdasarkan warna kulit, juga fasisme dan rasisme, sebagai sikap-sikap yang menjijikkan dan tidak baik. Termasuk ketika Anning yang mempolitisi keadaan dan sebagai orang yang tumbuh dalam latar belakang pendidikan superioritas Eropa, Connoly menjadi sangat sakit hati. 

Maka, sebagai sebuah pembelaan atas multikulturalisme dan semangat keberagaman, sebenarnya Connoly juga akan membela kelompok kelompok lain yang mendapat perlakuan serupa. (tentang egg boy ini dan latar belakang sosiologis di Australia saya mengambilnya dari tulisan Iqbal Aji Daryono)

Demikianlah, saya melihat bahwa rasisme tidak lepas dari pengkondisian yang membentuk pola pikir seseorang dalam melihat sekitarnya terutama yang berbeda, sebagai sebuah keberagaman. Di Indonesia sebenarnya juga ada upaya upaya baik tentang multikulturalisme ini. 

Sejak dibentuknya BPUPKI upaya melibatkan orang dari berbagai ras dan suku ini sudah ada. Bukan hanya orang orang dari suku suku di Indonesia yang dilibatkan, tapi juga ada orang Belanda, ada orang Arab, dan ada orang orang Tionghoa yang menjadi anggota BPUPKI. 

Demikian halnya ketika membahas Indonesia mau ke mana dan bagaimana, juga pertimbangan pertimbangan multikulturalisme ini cukup kuat. Sila persatuan Indonesia dengan semangat nasionalisme cukup kuat menjadi pertimbangan sekaligus dalam menentukan undang undang dan kebijakan.

Sayang sekali, demi kepentingan politik malah cita cita nasionalisme dengan semangat persudaraan itu kian luntur. Ketika komunisme mengobok obok keberagamaan di indonesia, meskipun uniknya mereka setuju dengan sila ketuhanan yang maha esa. 

Ketika komunisme kemudian tumbang, agama menjadi sangat anti terhadap keyakinan untuk tidak mempercayai Tuhan. Lebih dari itu, indonesia kemudian menjadi sangat jawa-sentris. Lebih khusus lagi menjadi sangat jakarta-sentris.

Ingin sekali sebenarnya Indonesia itu sudah ber'bhineka tunggal ika'. Sayang sekali, kebinekaan itu cenderung secara politis mau di'ika'kan, diseragamkan. Wajar kalau diskriminasi masih banyak terjadi di Indonesia. Diakui atau tidak, disadari atau tidak... apa yang ditakutkan Hatta tentang mayorokrasi itulah yang terjadi dengan dalih demokrasi di Indonesia. Rasialkah?

Begini: seandainya ada orang sunda wiwitan, mau menjadi seorang presiden di Indonesia? kira kira apa yang pertama kali akan dipermasalahkan? kompetensinya kah? moralitasnya kah? sukunya kah? atau agamanya?

Dan begitulah pengkondisian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun