Belajar banyak hal di negeri asing itu. dia merasa sangat beruntung karena ada seorang teman dari Yunani yang selalu bersedia menolongnya atau menjadi teman yang baik bagi dirinya. Agama tidak banyak dibicarakan.Â
Tapi ketika dia penasaran dan mengisi pembicaraan bertanya tentang agama temannya ini, yang ternyata Yahudi sangat kagetlah teman saya yang muslim ini.Â
Selama di Indonesia, hampir tidak ada konsep baik yang dibangun tentang orang orang Yahudi. Dalam situasi semacam itu, kemudian dia semacam dipaksa untuk berfikir lebih kompleks. Dari yang sekedar berbekal stereotip dihadapkan pada sebuah pengalaman sekaligus kenyataan.
Belajar dari Egg Boy
Maret 2019, sebuah kejadian tak terduga terjadi di Selandia Baru. Negara yang aman dengan tingkat kejahatan relatif kecil. Tiba tiba saja ada penembakan di sebuah masjid di Christ Church. Menewaskan lima puluhan orang. Peristiwa tersebut menjadi keprihatinan dunia sebagai bentuk rasialisme.Â
Belum lagi, melihat motif pelaku yang ingin menunjukkan supremasi kulit putih atas ras ras yang lain. dan berita berikutnya kita tahu, ada seorang senator Australia yang alih alih bersimpati pada korban, tapi malah menyalahkan umat Islam.Â
Pada hari penembakan di Selandia Baru, Fraser Anning berkomentar bahwa migasi kaum Muslim patut disalahkan sebagai penyebab penembakan tersebut, dan komentar itu menimbulkan kemarahan publik. Sehari sesudah pernyataan itu, Will Connolly, 17 tahun, menghampiri sang senator dari belakang saat sedang memberi pernyataan pers di Melbourne pada tanggal 16 Maret. dan memecahkan telur di kepala sang senator.
lalu kesalahpahaman banyak terjadi di sini. Connolly dianggap membela Islam. Padahal, kalau melihat sejarah dan latar belakang Connolly, sebenarnya dia sedang membela persaudaraan dan kemanusiaan. Dia tidak sedang membela agama tertentu.Â
Mengapa bisa begitu? karena kalau kita melihat Australia dengan sejarahnya, sejak lama mereka membangun kesadaran atas persamaan dan persaudaraan orang orang dari berbagai ras dan asal usulnya. Kita tahu bahwa Australia merupakan tempat imigrasi orang orang Inggris.Â
Dan selama dua dekade, penjajahan orang orang Inggris hanya mengijinkan orang orang kulit putih untuk berimigrasi. Baru di waktu waktu kemudian, dibuka imigrasi dari masyarakat non kulit putih. Dan dalam waktu yang sangat singkat muncullah ledakan imigrasi orang orang yang mencoba memperbaiki nasib di negeri kanguru tersebut.
Will Connolly sebagai generasi 2000an, hidup dalam situasi keberagaman akibat perjalanan panjang gelombang gelombang imigrasi tersebut. Â Pemerintah Australia, menyadari kenyataan multikultural di negaranya secara sangat serius mencoba menanamkan kesadaran multikulturalisme, Â keberagaman, dan tentu saja anti rasialis.Â