Mohon tunggu...
Herulono Murtopo
Herulono Murtopo Mohon Tunggu... Administrasi - Profesional

Sapere Aude

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Demokrasi dan Jebakan Mayorokrasi

17 Februari 2020   17:41 Diperbarui: 17 Februari 2020   21:11 341
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar dari https://www.liputan6.com/

Padahal, pemikirannya yang rasional jauh lebih bisa dipertanggungjawabkan dibandingkan keyakinan masyarakatnya yang tradisional. Dari situlah kemudian, Plato sang murid mau tidak mau tidak lagi menyukai demokrasi. Ketika kebanyakan masyarakat belum sampai pada kebijaksanaan yang diperlukan dalam demokrasi, maka sangat mungkin demokrasi itu sekedar menjadi alat politik yang mencoba mengatasnamakan lebih banyak orang.

Dalam konteks demokrasi kita dewasa ini, sering ada semacam keluhan yang mengatakan suara seorang profesor yang idealis di kotak suara akan tetap kalah dengan suara orang tak terdidik yang memberikan suaranya karena dibayar. Akhirnya kompetensi tidak lagi penting dibandingkan dengan kontroversi dan popularitas. 

Entah bagaimana caranya, kontroversi menjadi salah satu cara menarik untuk menuju ke karpet merah popularitas. Meskipun, kontroversi itu tidak ada hubungannya dengan kapabilitas yang bersangkutan. Misalnya anggota dewan ada yang menjebak PSK lalu bikin penggerebekan. Terkenal sudah. Atau isu isu lain dilempar dengan mudahnya. Dan parahnya, dalam situasi demokrasi yang tidak bisa dikatakan cerdas seperti ini, mudah sekali issu issu dilemparkan dan ditangkap.

Sehingga memang kita itu isunya timbul tenggelam. Mudah sekali muncul dan hilang yang akhirnya tidak begitu fokus, masyarakat menilai kinerja orang orang pilihannya. Bayangkan kasus Corona saja bisa menenggelamkan begitu mudah hiruk pikuk korupsi elite elite negeri ini. 

Di media sosial, pelemparan isu semacam ini kelihatan sekali karena sangat tematik dan temporal. Tergantung sekali dari sudut pandang yang mana atau dari pihak siapa. Para elite dan bahkan akademisi juga terjebak sebagai kaum partisan. Sehingga analisanya kelihatan sebagai analisa orang orang yang berpihak, bukan orang orang yang objektif menganalisa sesuatu.

Sebagai analogi, demokrasi kita seperti menggelar perlombaan lari, siapapun boleh ikut yang penting yang tercepat dialah pemenangnya dan yang memperoleh hadiah. Lalu, ikutlah di sana anak balita, kakek jompo, pelari profesional, orang lumpuh dan lain lain. Kelihatannya demokratis. Tapi sama sekali tidak demokratis. Lihatlah di sana, ketika pesta demokrasi digelar. Anaknya tokoh ini ikut, si pelawak ikut, tukang tambal ban ikut, propolitisi senior ikut. Pokoknya serahkan semua ke rakyat. 

Pahitnya lagi, kebanyakan masyarakat juga tidak tahu, siapa saja calon calon yang akan dipilihnya dan bisa dipilihnya. Belum lagi bila dikaitkan dengan dilema partai dan lain lain. Beberapa partai punya ideologi yang sama dan juga target pemilih yang sama juga. Kata kata serahkan rakyat yang memilih, itu seakan akan akan bagus tapi naif. yang diserahi seringkali tidak seideal yang seharusnya.

Dalam situasi semacam ini, bagaimana mungkin sampai pada sebuah prinsip dasar kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan? Dalam permusyawaratan perwakilan juga, perwakilan seperti apa kalau wakilnya alih alih menjalankan fungsi legislatornya, malah menjadi satpol PP.

Memang demokrasi kita ini, komedi; komedi yang tidak lucu. Mengundang tawa tapi sekaligus pada saat yang sama memprihatinkan. Mayorokrasi, harus diakui itulah terjadi tapi uniknya juga sekaligus minorokrasi. Mayorokrasi lebih sebagai alatnya sedangkan dalam prakteknya dikuasai oleh sekelompok elite kecil yang jumlahnya tidak seberapa. 

Artinya, mayoritas kelompok masyarakat sekedar diperalat oleh sebagian kecil orang untuk bermain main dengan kekuasaan. Sehingga di sini, dalam konsep politik saya tidak mau mendikotomikan mayoritas dan minoritas kelompok didasarkan agama, ras, suku, dll. Tapi mayoritas dalam posisi politiknya, juga minoritas dalam hal yang sama.

Lihatlah betapa tidak ada lagi artinya suara masyarakat mayoritas setelah pemilihan langsung usai. Dan sekelompok kecil elite kembali rukun, lupa dengan konflik yang mereka bangun dahulu sampai banyak korban jatuh bergelimpangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun