Fenomena polarisasi sosial kemasyarakatan menarik sekaligus memprihatinkan dewasa ini, yang minoritas merasa dizalimi oleh kelompok mayoritas. Sebagian yang mayoritas merasa juga terlalu dikuasai oleh kelompok minoritas.
Ketika para founding father membentuk dasar negara Indonesia, mereka sudah sangat menyadari bahaya otoriter mayoritas dan juga tirani minoritas. Maka dengan sangat cerdas dan indah, sila atau dasar sosio demokrasi dirumuskan dengan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat. hanya saja, ideologi indah itu tidak begitu mudah dalam prakteknya.Â
Berbagai macam demokrasi pernah diterapkan dalam sejarah pemerintahan Indonesia, namun sepertinya gagal untuk mewujudkan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat tersebut. Pertanyaannya sederhana tapi sekaligus pelik, demokrasi semacam apakah yang akan bisa mewujudkan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan (dalam permusyawaratan/perwakilan) itu?
Dari sejak awal roda pemerintahan ini berputar, bentuknya juga belum bisa diketemukan. Baik dari era pemerintahan Soekarno, Soeharto, sampai pasca Soeharto belum terlihat adanya 'hikmat' dalam demokrasi demokrasinya. Saya sengaja menghindari kata era orde baru dan orde lama karena lahir dari sebuah hegemoni dan indoktrinasi politik yang tidak sehat. Menjadi menarik sebenarnya apakah hikmat-kebijaksanaan dan politik itu sesungguhnya tidak mudah untuk dipertemukan? Apalagi di tengah arus demokrasi langsung seperti sekarang ini?
Kalau kita lihat bunyi sila ke empat kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, semestinya ada syarat utma yang mesti terpenuhi hikmat kebijaksanaan. Saya kok agak ragu, apakah dengan pemilihan langsung yang menekankan sistem kerakyatan dengan partisipasinya ini, bisa didasarkan pada unsur kebijaksanaan (baca rasionalitas).Â
Ketika yang terpilih baik di eksekutif maupun yang di legislatif, bukanlah orang orang yang pertama tama kompeten, tetapi lebih didasarkan pada popularitas dan dominan unsur emosionalnya dibandingkan unsur rasionalitas. Saya tidak berani menyebut tokoh terpilih sebagai contoh, takut jadi unsur penistaan. Tapi lebih begini:
Pada ranah legislatif, mereka yang bisa terpilih dan dipilih dan memang sudah terpilih bisa saja lulusan SMA. Sementara staff ahlinya harus lulusan minimal S2. Tugas legislatif adalah membuat undang undang. Undang undang harus berkeadilan. Pernah ada anggota dewan terpilih, tugasnya saja tidak tahu.Â
Bagaimana dia menjalankan tugasnya? Lalu marilah kita kaitkan dengan konsep dasar prinsip prinsip keadilan. kalau saja punya kesempatan saya boleh mengecek, kata adil yang mereka perjuangkan itu semacam apa. Ideologi adil itu apa? bagaimana keadilan secara filosofis dan bagaimana diterapkannya? Maaf saja, tidak terlalu yakin saya bahwa mereka bisa menguraikannya. Kan ada staff ahli? Oke... jadi penetap undang undang ini siapa ya....
Banyaknya kesalahan dalam perumusan undang undang, menunjukkan sesuatu yang bersifat latah. Misalnya saja karena sekedar kopi paste dari draft draft sebelumnya. Kalaupun kemudian yang menggodog undang undang adalah para staff ahlinya, pemutus undang undang adalah anggota dewannya, kalau ternyata undang undang tersebut cacat baik moral maupun yuridis, lalu semestinya yang dipersalahkan dan didemo siapa? Lebih pahit lagi, yang didemo adalah eksekutifnya. yang mendemo dan mengkritisi adalah sebagian dari legislatif. Jadi tambah burem dan kusut, bukan?
Kembali ke Sejarah
Mohammad Hatta dalam pidatonya ketika mau menentukan dasar negara menjelaskan bahwa, ''Kerakyatan yang dianut oleh bangsa Indonesia bukanlah kerakyatan yang mencari suara terbanyak saja, tetapi kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Karena itu demokrasi Indonesia bukan demokrasi liberal dan juga bukan demokrasi totaliter, karena berkaitan secara menyeluruh dengan sila-sila Pancasila lainnya.''Â